Apa Itu Produk Pangan Halal?

     Islam adalah agama yang menjangkau setiap aspek kehidupan manusia. Dalam Islam manusia tidak hanya diajarkan bagaimana mereka menyembah Tuhannya, tetapi diajarkan juga bagaimana cara menjalankan kehidupan yang baik. Kehidupan yang baik ini dimulai dengan konsep halal.Kata halal berasal dari bahasa Arab yang berarti “melepaskan” dan “tidak terikat”, secara etimologi halal diartikan sebagai hal-hal yang boleh dan dapat dilakukan karena bebas atau tidak terikat dengan ketentuan-ketentuan yang melarangnya (Girindra, 2008).

    Peraturan Pemerintah Nomor 69, tahun 1999 pasal 1 angka 5 mendefinisikan makanan halal adalah pangan yang tidak mengandung unsur atau bahan yang haram atau dilarang dikonsumsi oleh umat Islam, baik yang menyangkut bahan baku pangan, bahan tambahan pangan, bahan bantu dan bahan penolong lainnya termasuk bahan pangan yang diolah melalui proses rekayasa genetika dan iridiasi pangan dan pengelolaannya.

    Menurut Departemen Agama Republik Indonesia (2007), produk makanan halal adalah produk yang memenuhi syarat kehalalan sesuai syariat Islam, yaitu: 

1.   Tidak mengandung babi dan bahan yang berasal dari babi

2.   Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan seperti bahan-bahan yang berasal dari organ manusia, darah, kotoran dsb.

3.    Semua bahan yang berasal dari hewan halal yang disembelih menurut tata cara syariat Islam.

4.  Semua tempat penyimpanan, tempat penjualan, tempat pengolahan, tempat pengelolaan dan transportasi tidak boleh digunakan untuk babi dan/atau barang tidak halal lainnya. Jika pernah maka harus dibersihkan terlebih dahulu dengan tata cara syariat Islam.

5.    Semua makanan dan minuman yang tidak mengandung khamar.

    Pangan diartikan sebagai segala sesuatu yang bersumber dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (PP RI No. 28 (2004) dalam Saparinto dan Diana (2006)).

    Pangan olahan adalah pangan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Pangan olahan dibedakan lagi menjadi dua jenis yaitu (PP RI No. 28 (2004) dalam Saparinto dan Diana (2006)):

1.   Produk pangan olahan tertentu : pangan olahan yang diperuntukkan bagi kelompok tertentu, dalam upaya memelihara dan meningkatkan kualitas kesehatan kelompok tersebut

2.   Pangan siap saji : makanan atau minuman yang sudah diolah dan bisa langsung disajikan ditempat usaha atau diluar tempat usaha atas dasar pesanan

    Halal berasal dari bahasa Arab yaitu halla yang berarti lepas atau tidak terikat. Dalam kamus fiqih, kata halal dipahami sebagai segala sesuatu yang boleh dikerjakan atau dimakan. Istilah ini, umumnya berhubungan dengan masalah makanan dan minuman. Lawan dari kata halal adalah haram. Haram berasal dari bahasa Arab yang bermakna, suatu perkara yang dilarang oleh syara’ (agama). Mengerjakan perbuatan yang haram berarti berdosa dan mendapat pahala bila ditinggalkan. Misalnya, memakan bangkai binatang, darah, minum khamr, memakan barang yang bukan miliknya atau hasil mencuri. Menurut Prof. Dr. KH. Ali Mustofa Ya’kub, MA suatu makanan atau minuman dikatakan halal apabila masuk kepada 5 kriteria, yaitu (Karim,2013): 

1) Makanan dan minuman tersebut thayyib (baik) yaitu sesuatu yang dirasakan enak oleh indra atau jiwa tidak menyakitkan dan menjijikkan. Dalam surat al-Maidah ayat 4 yang artinya: ‛Mereka bertanya kepadamu, ‚Apakah yang dihalalkan bagi mereka? Katakanlah, dihalalkan bagimu yang baik-baik‛. 

2) Tidak mengandung dharar (bahaya); 

3) Tidak mengandung najis; 

4) Tidak memabukkan dan 

5) Tidak mengandung organ tubuh manusia. 

    Isu halal-haram mencakup segala aktivitas termasuk pemilihan makanan yang akan berdampak pada jasmani dan rohani seseorang dan keluarganya. Konsep konsumsi itu sendiri dalam perspektif Islam didefinisikan sebagai pemenuhan kebutuhan barang dan jasa, dengan ketentuan harus halal dan benar sesuai syariah. Konsumsi dianggap sebagai sarana yang esensial dan tidak bisa diabaikan, termasuk dalam merealisasikan pengabdian kepada Allah SWT (Al Haritsi, 2006).     Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) MUI menekankan bahwa yang terdapat di muka bumi ini pada dasarnya adalah halal, kecuali yang dilarang secara tegas dalam Al Quran dan Hadits. Namun demikian, perkembangan teknologi untuk menciptakan produk halal yang beraneka dan memanfaatkan bahan haram yang dianggap  lebih ekonomis sebagai bahan baku atau bahan tambahan dalam proses produksi dapat mengancam kehalalan atas produk olahan. Hal ini juga menimbulkan keraguan atas ketetapan kehalalan produk yang telah bercampur aduk dengan bahan yang masih tidak jelas kehalalannya dan statusnya menjadi syubhat (meragukan). Majelis Ulama Indonesia (2009) melalui Komisi Fatwa menyebutkan bahwa pada dasarnya produk olahan sering diragukan kehalalan atau kesuciannya sehingga dibutuhkan penelusuran dan penelaahan secara intensif sebelum memutuskan status kehalalan suatu produk sebagai upaya perlindungan konsumen khususnya penduduk muslim. 

Sumber :

Al Haritsi, J. 2006. Fikih Ekonomi Umar bin Al Khatab. (A. S. Zamakhsyari, Penerjemah). Khalifa (Pustaka Al-Kautsar Grup. Jakarta

Departemen Agama RI - Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan - Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam. 2007. Islam dan Produk Halal (Serial Khutbah Jumat). Bimas Islam Depag RI. Jakarta

Girindra, A. 2008. Dari Sertifikasi Menuju Labelisasi Halal. Pustaka Jurnal Halal. Jakarta 

Karim, Muchith A. 2013. Perilaku Komunitas Muslim Perkotaan Dalam Mengonsumsi Produk Halal. Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. Jakarta

Majelis Ulama Indonesia. 2009. Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Penetapan Produk Halal. http://halalmui.org.

Saparinto, Cahyo dan Diana Hidayati. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Kanisius. Yogyakarta 


Komentar