Pernahkah kita benar-benar hadir saat makan? Pernahkah kita merasakan kehadiran Tuhan dalam suapan sederhana dari makanan kita?
Kita semakin tidak akrab dengan makanan warisan leluhur kita. Generasi muda lebih ingat nama makanan cepat saji dari luar negeri dibandingkan mengenal tempe mendoan, pecel, atau bubur sumsum. Gula rafinasi menggantikan manisnya gula dari kelapa. Minyak sawit menggantikan minyak kelapa murni. Tepung terigu yang diimpor mendominasi, sementara sorgum, sagu, dan umbi-umbian sumber pangan lokal terabaikan. Ini bukan sekadar perubahan selera ini merupakan bentuk penjajahan gaya yang baru, yang menggerogoti kemandirian pangan dan identitas budaya kita.
Ironisnya, tanah Nusantara yang kaya, yang dulunya adalah pusat rempah dunia, kini lebih banyak memproduksi barang ekspor daripada makanan lokal untuk warganya sendiri. Petani kita terabaikan dalam sistem yang tidak merata. Warisan leluhur dalam bertani, mengolah, dan menghargai makanan, tergantikan oleh kebiasaan konsumsi yang instan, cepat, dan kaya zat aditif.
Sebenarnya, masakan leluhur Nusantara tidak hanya berkaitan dengan cita rasa. Ia merupakan gambaran keseimbangan manusia dengan alam, penghargaan terhadap tubuh sebagai karunia Tuhan, serta praktik spiritual yang signifikan. Makan bukan hanya untuk memenuhi perut, tetapi juga merupakan bagian dari kesadaran diri sebagai pelayan dan pelindung bumi.
Saatnya kita terbangun dari tidur yang panjang ini. Menyadari bahwa kolonialisasi kontemporer dapat berasal dari apa yang kita konsumsi setiap hari. Melalui makanan, kita bisa kembali merdeka dengan mengenal, mencintai, dan menghidupkan kembali kearifan lokal Nusantara yang sarat makna.
Indonesia mempunyai iklim tropis. Terletak secara geografis di antara dua benua serta dua lautan. Posisi yang tepat yang dikelilingi oleh rangkaian pegunungan gunung berapi menciptakan lahan subur maka Indonesia juga memiliki keragaman dalam produk pertaniannya seperti bahan makanan, sayuran, buah-buahan sampai bumbu-bumbu. Keanekaragaman hasil pertanian ini pun akhirnya menyebabkan adanya perbedaan kekhasan makanan pada setiap daerah (Sempati dalam Yuliana et all,2022).
Makanan khas nusantara merupakan berbagai jenis makanan olahan khas daerah Indonesia yang merupakan bentuk kreativitas masyarakat lokal dalam mengolah bahan makanan, memadukan rempah-rempah serta menambah nilai budaya di dalamnya (Lestari & Christina, 2018).
Masakan khas nusantara tidak hanya dijadikan sebagai santapan untuk memanjakan lidah dan mengenyangkan perut saja, namun juga mencerminkan budaya lokal, karena menyimpan banyak cerita yaitu mulai dari sejarah, bahan baku, dan cara pembuatan. Masakan nusantara sendiri juga memiliki cara pengolahan yang beragam dan bervariasi. Penggunaan berbagai jenis rempah serta teknik pengolahan menyebabkan makanan khas nusantara terlihat rumit akan tetapi rasa dan aroma dari masakan nusantara memiliki rasa yang khas. Makanan nusantara sebagai warisan leluhur tanpa disadari perlahan mulai tersingkir karena makanan yang berbau lokalitas mulai dipandang sebelah mata dan dianggap kuno (Adiasih & Brahmana, 2015).
Hal ini terjadi sebagai dampak pergeseran peradaban dunia. Salah satunya dipicu dengan adanya perkembangan dan kemajuan teknologi yang semakin pesat dan keterbukaan terhadap media massa (Utami, 2018).
Selain itu, pergeseran nilai gaya hidup terutama di daerah perkotaan juga menjadi penyebab masakan nusantara mulai tersingkir (Rahmawaty & Maharani, 2013). Fenomena ini berdampak signifikan terhadap keberadaan makanan khas nusantara yang saat ini sudah jarang ditemui dan terancam punah.
Christian Coff, seorang etikawan sekaligus ahli ilmu pertanian dan makanan Denmark, menunjukkan aktivitas makan manusia sebagai bentuk relasi intim antara manusia dengan lingkungan di luar dirinya. Menurut Coff, makan merupakan proses yang melibatkan beberapa tahap, yang dimulai dengan tahap melihat, dilanjutkan dengan mencium, dan akhirnya mengecap.
Pada tahap pertama yaitu melihat, relasi manusia dengan makanan tidak terlalu intim. Manusia mengambil jarak terhadap makanan karena ia hanya bertindak sebagai subyek yang mengamati makanan di hadapannya. Di tahap dua, relasi manusia dengan makanan menjadi lebih intim. Ketika manusia mencium aroma makanan, ada udara yang masuk ke dalam tubuh membawa sifat-sifat makanan tersebut. Pada akhirnya, relasi manusia dan makanan semakin intim ketika ada kontak fisik langsung antara manusia dengan makanan, yakni saat ia mencicipi atau mengecap makanan tersebut. Coff menyatakan bahwa di saat mengecap, manusia membuat keputusan apakah ia akan melanjutkan untuk menelan makanan itu atau tidak (Setiawan, 2016).
Ketika ditelan, makanan akan mengalami proses pencernaan dan penyerapan ke dalam tubuh. Coff berpendapat bahwa proses makan diawali dengan memasukkan unsur-unsur fisik dari luar diri ke dalam tubuh. Makan merupakan proses menyatukan elemen-elemen lingkungan dengan tubuh, atau dengan kata lain mempertemukan keberlainan (otherness) yang didapat dari lingkungan hidup di luar diri dengan diri, kata Coff. Lebih lanjut, apa yang dimasukkan ke dalam tubuh itu dicerna dan diserap untuk “dijadikan satu sebagai tubuh”. Maka, bagi Coff makan adalah proses inkarnasi, yakni proses mengubah unsur-unsur material lingkungan sekitar menjadi daging (tubuh) (Setiawan, 2016).
Bertitik tolak dari pandangan Coff tersebut, kita dapat berefleksi bahwa makanan bagi manusia bukanlah sekadar materi fisik di luar diri manusia. Makanan menjadi ekspresi kedekatan relasi antara kita dengan lingkungan di luar diri kita. Makanan bukan semata-mata obyek bagi manusia, melainkan apa yang kelak menjadi daging manusia itu sendiri. Makanan bagi kita adalah sesuatu yang menjadi cikal bakal tubuh kita, atau diri “potensial” kita. Manusia yang menyia-nyiakan makanannya adalah manusia yang menyia-nyiakan dirinya juga. You are what you eat! adalah slogan yang selalu mengingatkan kita akan betapa eratnya relasi manusia dengan makanannya (Setiawan, 2016).
Menurut Koentjaraningrat dalam Setiawan (2016) ada tiga wujud kebudayaan, yakni: (1) ide, gagasan, nilai, atau norma, (2) aktifitas atau pola tindakan manusia dalam masyarakat, dan (3) benda-benda hasil karya manusia. Ide, gagasan, nilai atau norma sebagai wujud pertama kebudayaan berbentuk abstrak. Ide, gagasan, nilai atau norma sebagai suatu “pikiran masyarakat” berkembang saling terkait satu sama lain sebagai suatu sistem kultural yang disebut “adat istiadat”. Sementara itu, wujud kebudayaan yang kedua merupakan sistem sosial yakni aktivitas atau tindakan manusia yang membentuk pola-pola perilaku masyarakat yang dilandasi oleh adat istiadat. Sistem sosial ini berwujud konkret sehingga bisa diamati di dalam keseharian kegiatan masyarakat. Wujud kebudayaan yang ketiga adalah benda-benda fisik yang sifatnya konkret berupa benda-benda dari segala hasil ciptaan, karya, tindakan, aktivitas, atau perbuatan manusia dalam masyarakat. Ketiga wujud kebudayaan itu tidak terpisah satu sama lain.
Jika menilik makanan tradisional (makanan warisan leluhur) di nusantara, kita menemukan bahwa makanan seringkali dikaitkan dengan ritual sosial maupun spiritual tertentu. Makanan tradisional menjadi pelengkap dalam upacara sosial dan keagamaan, khususnya berkenaan dengan peristiwa-peristiwa besar dalam kehidupan: kelahiran, perkawinan, atau kematian. Dalam tradisi Sunda atau Jawa misalnya, dikenal nasi tumpeng sebagai sajian khas pada upacara selametan (selamatan). Nasi tumpeng merupakan makanan yang sarat dengan kearifan lokal berupa tanggung jawab manusia untuk menghormati Sang Pencipta, alam semesta, maupun sesama manusia. Menurut Mohammad Rondhi, selain disajikan untuk keperluan sajen (sesaji) yakni ungkapan hormat kepada Sang Pencipta, nasi tumpeng disajikan juga untuk keperluan sadaqah (sedekah) dan punjung (bulubekti). Sadaqah (sedekah) dan Punjung (bulubekti) merupakan ekspresi penghormatan terhadap sesama manusia. Sadaqah adalah pemberian makanan dari orang kaya (strata sosial atas) kepada orang miskin (strata sosial bawah) sebagai tanda solidaritas, dan sebaliknya Punjung/ Bulubekti adalah pemberian makanan dari orang berstrata sosial rendah ke orang berstrata sosial tinggi sebagai tanda kesetiaan dan pengabdian (Setiawan, 2016).
Memasak, menurut Leluhur Nusantara, bukan hanya sekadar aktivitas di dapur. Ini merupakan proses merenung, latihan kehadiran, dan zikir yang tidak terdengar. Setiap proses dalam memasak: memilih bahan, mencuci, menumbuk, menumis, mengaduk, menunggu adalah gerakan spiritual yang mendidik jiwa untuk sabar, khusyuk, dan penuh kasih.
Dalam nyala api, terdapat pelajaran mengenai pengelolaan emosi: terlalu kecil, makanan mentah; terlalu besar, makanan terbakar. Sama halnya dengan hidup—memerlukan harmoni antara gairah dan ketenangan. Dalam proses mengaduk dengan lembut, kita diajarkan untuk bersatu dengan waktu, tidak terburu-buru, tidak menentang arus. Karena cita rasa yang ideal hanya akan muncul melalui kesabaran dan usaha yang gigih.
Leluhur kita tahu bahwa memasak bukan hanya untuk mengenyangkan tubuh, tapi juga menghidupkan hati. Maka mereka memasak dengan doa, dengan harap, dengan syukur. Tidak ada yang instan, karena yang sakral tidak pernah tergesa. Mereka percaya, apa yang dimasak dengan hati akan sampai ke hati pula.
Masakan seperti rendang, yang harus dimasak berjam-jam hingga bumbu meresap, adalah simbol kehidupan: bahwa ujian, waktu, dan proseslah yang mematangkan manusia. Kita bisa saja memasak cepat, tapi jiwa tidak bisa dipercepat. Ia hanya tumbuh saat kita betul-betul hadir dalam setiap momen.
Jadi saat kita memasak, sejatinya kita sedang berlatih untuk hidup lebih perlahan, lebih penuh perhatian, lebih menyatu dengan diri sendiri. Dapur adalah tempat kita belajar mengelola panas kehidupan, mengaduk rasa syukur, dan menyajikan cinta dalam bentuk paling sederhana: sepiring makanan.
Dan bukankah Tuhan menciptakan kehidupan ini seperti dapur? Penuh bahan-bahan yang bisa kita olah, penuh proses yang harus kita lalui. Tugas kita hanya satu: hadir sepenuh jiwa dalam setiap langkahnya.
Leluhur Nusantara melihat alam bukan sebagai objek mati yang dapat dieksploitasi, melainkan sebagai entitas hidup yang memiliki jiwa, sebagai tempat Tuhan menaruh kasih-Nya. Pada setiap pohon, sungai, ladang, dan hewan, mereka mengamati tanda Ilahi yang wajib dihargai, bukan ditundukkan. Jadi saat mereka memanen hasil bumi. Mencabut umbi, memetik daun, menebang kayu selalu ada doa dan izin yang menyertainya. Sebuah pengertian bahwa manusia bukanlah pemilik, tetapi pengelola (khalifah).
Sikap ini bukan hanya tradisi, melainkan keyakinan yang berwujud dalam tindakan.
MengenalNYA tidak sekadar ungkapan lisan yang mengatakan “Laa ilaaha illallah”, melainkan juga tentang cara kita memahami Tuhan melalui makhluk-Nya.
Mereka menyadari bahwa merusak alam merupakan bentuk penolakan terhadap ketauhidan itu sendiri. Bagaimana mungkin kita mengatakan mencintai Tuhan tetapi menghancurkan tempat tinggal-Nya?
Pada makanan Leluhur, kita dapat mengamati refleksi dari kesadaran ini.
Sagu yang dipanen dengan memperhatikan keberlanjutan pohonnya, ikan yang diambil secukupnya tanpa mencemari sungai, beras yang ditanam sesuai musim dan ritme alam. Tidak ada keinginan untuk mengumpulkan, hanya ingin cukup untuk bersantap bersama.
Kesederhanaan bukan kemiskinan, tapi wujud rasa cukup yang lahir dari iman.
Tradisi seperti sedekah bumi, bersih desa, atau ritual panen adalah cara kolektif masyarakat lama untuk mengingat bahwa mereka hanya bagian kecil dari semesta. Bahwa segala yang tumbuh adalah titipan Tuhan yang tak boleh diklaim ego.
Kini, ketika manusia semakin rakus terhadap alam, kita semakin jauh dari tauhid yang sejati.
Kita memakan makanan yang tak lagi punya cerita, tak lagi punya doa, dan tak lagi punya akar pada tanah yang kita injak. Padahal di situlah letak makna terdalam: tauhid bukan hanya langit, tapi juga tanah. Bukan hanya shalat, tapi juga cara menanam, memasak, dan memakan.
Dalam tradisi Leluhur Nusantara, bersantap bersama bukan sekadar kebiasaan sehari-hari. Ini adalah upacara sunyi, ibadah tanpa alat pengeras suara, dan tempat suci di mana cinta, rasa syukur, dan kebersamaan disajikan dalam bentuk yang paling nyata: makanan.
Meja makan merupakan tempat suci kehidupan. Di tempat itu, orang-orang duduk dalam kesetaraan: tidak peduli siapa yang paling tua, siapa yang paling miskin, siapa yang paling cerdas. Segala sesuatu dibagikan dalam ukuran tertentu. Semua orang dijemput untuk hadir, bukan hanya secara lisan, tetapi juga dengan perasaan. Makan bersama merupakan bentuk ibadah yang paling tenang—tanpa lafalan, tanpa gerakan, hanya kehadiran yang utuh dan rasa syukur yang mengalir dalam ketenangan.
Leluhur kita tahu bahwa makanan bukan milik pribadi, melainkan anugerah yang harus dibagikan. Gotong royong dalam menanam, memasak, hingga menyantap, mengajarkan nilai spiritual tentang kepemilikan yang fana dan kemurahan hati yang kekal.
Dalam budaya Jawa, dikenal pitutur:
“Mangan ora mangan kumpul”
(Makan atau tidak makan, yang penting bersama).
Kalimat ini bukan soal pasrah pada kemiskinan, tapi pernyataan iman bahwa kebersamaan lebih memberi kenyang bagi jiwa daripada makanan itu sendiri.
🌺 Kembali ke Rasa, Kembali ke Diri, Kembali ke Tuhan
Di tengah dunia yang cepat dan serba instan, kita mulai kehilangan ikatan paling mendasar dalam hidup: ikatan dengan rasa. Kita makan, tetapi sering kali tidak sepenuhnya merasakannya. Kita sudah puas, namun hati masih hampa. Kita berlari mengejar kalori, nutrisi, dan tren hidup, namun melupakan bahwa rasa sejati terletak dalam hadir, sadar, dan bersyukur.
Leluhur kita menjalani hidup dengan ritme yang tenang, penuh arti. Mereka menghargai makanan, karena di dalamnya tersimpan jejak tanah, tetesan keringat, doa yang tak terucap, dan kasih yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka tidak hanya makan untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk bersatu dengan alam, memahami diri, dan berinteraksi dengan Tuhan.
Saat kita kembali menikmati kuliner warisan tersebut. Papeda, tumpeng, rendang, jagung bose, gudeg, sebenarnya kita sedang menelusuri jalan kembali.
Kembali ke rasa : bahwa hal-hal yang sederhana dapat menjadi bentuk syukur.
Kembali kepada diri: bahwa kita tidak memerlukan banyak untuk merasa puas.
Kembali kepada Tuhan: bahwa setiap rezeki yang diterima merupakan seruan untuk berterima kasih, bukan hanya untuk dimiliki.
Maka kembali ke dapur. Diri ketika memasak. Rasakan kebahagiaan saat menikmati makanan. Ajak keluarga berkumpul, dan rayakan kehidupan dengan hidangan yang kaya kasih.
Dalam sepiring makanan yang kau nikmati dengan penuh kesadaran, Tuhan hadir di sana. Tenang, lembut, dan cukup.
Daftar Pustaka :
Adiasih, P., & Brahmana, R. K. M. R. 2015. Persepsi Terhadap Makanan Tradisional Jawa Timur : Studi Awal Terhadap Mahasiswa Perguruan Tinggi Swasta di Surabaya. Kinerja, 19(2), 112–125
Lestari, N. S., & Christina. 2018. Doclang, Makanan Tradisional yang Mulai Tersisihkan. Jurnal Khasanah Ilmu, 9(2), 21–27.
Rahmawaty, U., & Maharani, Y. 2013. Pelestarian Budaya Indonesia Melalui Pembangunan Fasilitas Pusat Jajanan Pasar Tradisional Jawa Barat. Jurnal Tingkat Sarjana Bidang Senirupa Dan Desain, 2(1), 1–8. https://www.neliti.com/id/publicati%20ons/244243/pelestarian-budayaindonesia-melalui-pembangunanfasilitas-pusat-jajanan-tradisi
Setiawan, Rudi. 2016. Memaknai Kuliner Tradisional di Nusantara: Sebuah Tinjauan Etis.RESPONS Volume 21, No. 01: 113–140. Jakarta: PPE-UNIKA Atma Jaya
Utami, S. R. I. 2018. Kuliner Sebagai Identitas Budaya: Perspektif Komunikasi Lintas Budaya. Journal of Strategic Communication, 8(2), 36–44
Yuliana, Indah, Windi Indah Fajar Ningsih, Yuliarti, dan Desri Maulina Sari. 2022. Eksplorasi dan Pengenalan Makanan Khas Jawa dan Sumatra pada Generasi Milenial melalui Pembelajaran Praktikum Mata Kuliah Dasar Kuliner. Vol. 4, No. 2: 593–599. ISSN: 2722-3043 (online), 2722-2934 (print).
Komentar
Posting Komentar