Sunyi yang Membentuk: Mengenal Aku (Bagian 1)



 

Dalam perjalanan hidupku, ada satu titik di mana aku mulai merasa: aku berbeda.
Bukan hanya dari teman-teman, tapi juga dari keluargaku sendiri.
Berbeda dari kakakku, dari sepupu-sepupuku, bahkan dari orang tuaku.
Bukan dalam rupa atau suara, tapi dalam cara berpikir, dalam pandangan hidup, dalam nilai-nilai, dan yang paling dalam—dalam rasa yang bersemayam di hati.
Keanehan itu tidak datang tiba-tiba. Ia tumbuh pelan-pelan, sejak masa kecil.
Aku mulai menyadarinya saat duduk di bangku sekolah dasar.
Ketika anak-anak lain berlarian dengan riang, tertawa lepas menikmati masa kecil mereka, aku justru sudah disibukkan dengan tanggung jawab rumah.
Setiap pagi, sebelum ke sekolah, aku harus bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Bukan hanya untukku, tapi juga untuk kakakku.
Ibuku sejak subuh sudah berangkat ke pasar, berjualan sayur.
Sepulang sekolah, belum ada makanan tersaji. Maka aku kembali ke dapur, memasak bersama ibu agar kami bisa makan siang.
Belum selesai sampai di situ. Setelah istirahat sebentar, aku ikut ibu bekerja di ladang orang.
Kami memetik sayur, mengikatnya sesuai ukuran agar siap dijual keesokan harinya.
Kemudian mencucinya, memastikan semua dalam kondisi segar saat fajar tiba,untuk dibawa ibu kepasar
Lalu, menyapu rumah. Mandi baru sempat dilakukan menjelang maghrib.
Aku sebenarnya ingin sekali ikut TPA seperti teman-teman sebayaku. Ingin belajar Al-Qur’an di sore hari, bersama suara tawa anak-anak dan lantunan ayat suci yang mengisi langit desa.
Tapi aku tidak bisa.
Waktu dan tenaga sudah habis untuk membantu orang tuaku.
Satu-satunya waktu yang bisa kupakai untuk mengaji hanyalah selepas maghrib, saat suasana masjid sudah sepi.
Selesai mengaji dan sholat Isya, aku pulang.
Belajar sebentar, menyiapkan buku untuk esok hari—dan tidur dengan tubuh lelah, tapi hati yang terus bertanya: "Mengapa aku merasa berbeda?"

Ada satu kejadian di masa kecilku yang tak pernah hilang dari ingatan. saat aku duduk di bangku Sekolah Dasar dan mengikuti lomba cerdas cermat. 
Hari itu mestinya menjadi hari yang membanggakan. Tapi yang kurasa justru sebaliknya: sunyi, canggung, dan asing.
Tak ada yang bisa mengantarku ke tempat lomba. Kami tak punya motor. Ibuku sedang berjualan di pasar, ayahku bekerja sebagai tukang kayu di desa. Aku hanya diam, menunggu dalam ketidakpastian. Sampai akhirnya, pamanku bersedia mengantarku ke lokasi lomba.
Aku tiba di tempat lomba dengan seragam seadanya. Alat tulisku usang, sudah lama tak baru. Dan di sana, kulihat anak-anak lain datang rapi, perlengkapan mereka tampak bersih dan berwarna. Aku merasa kecil. Minder. Seolah tidak pantas berada di antara mereka.
Saat soal dibagikan, aku mengerjakan dengan hati berdebar. Tapi jujur, aku tidak terlalu ingat bagaimana cara aku menyelesaikannya. Rasanya seperti melayang, seperti tidak benar-benar hadir. Mungkin karena seluruh pikiranku sibuk menahan rasa tidak layak.
Lalu pengumuman dibacakan. Dan namaku disebut—juara dua.
Aku tertegun. Tak mengerti. Aku? Juara?
Wajahku datar. Seakan otakku belum menangkap kabar itu sepenuhnya. Mungkin karena aku terbiasa tidak dianggap, jadi ketika akhirnya dianggap, aku malah tak tahu harus bereaksi bagaimana.
Satu per satu anak-anak dijemput oleh orang tuanya. Mobil dan motor datang silih berganti. Hingga akhirnya hanya aku yang tersisa di gerbang tempat lomba.
Aku berdiri sendiri. Tak ada yang menjemput.
Aku menunggu.
Lama.
Sampai dari kejauhan, dari arah timur, kulihat sosok yang kukenal: seorang perempuan sederhana, mengayuh sepeda dengan tenang. Senyum mengembang di wajah lelahnya. Itu ibuku. Pulang dari pasar yang kebetulan letaknya tak jauh dari lokasi lomba.
Dengan lembut beliau berkata,
"Ayo nduk, pulang."
Dan aku membalas senyumnya.
Naik ke boncengan sepedanya.
Ibu mengayuh,kami menyusuri jalan sejauh lima kilometer.
Tanpa pelukan penuh selebrasi.
Tapi cukup.
Karena dalam senyum dan peluh ibuku, aku menemukan makna pulang.

 

bersambung.........

Komentar