Dalam perjalanan
hidupku, ada satu titik di mana aku mulai merasa: aku berbeda.
Bukan hanya dari
teman-teman, tapi juga dari keluargaku sendiri.
Berbeda dari kakakku,
dari sepupu-sepupuku, bahkan dari orang tuaku.
Bukan dalam rupa atau
suara, tapi dalam cara berpikir, dalam pandangan hidup, dalam nilai-nilai, dan
yang paling dalam—dalam rasa yang bersemayam di hati.
Keanehan itu tidak
datang tiba-tiba. Ia tumbuh pelan-pelan, sejak masa kecil.
Aku mulai menyadarinya
saat duduk di bangku sekolah dasar.
Ketika anak-anak lain
berlarian dengan riang, tertawa lepas menikmati masa kecil mereka, aku justru
sudah disibukkan dengan tanggung jawab rumah.
Setiap pagi, sebelum
ke sekolah, aku harus bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Bukan hanya
untukku, tapi juga untuk kakakku.
Ibuku sejak subuh
sudah berangkat ke pasar, berjualan sayur.
Sepulang sekolah,
belum ada makanan tersaji. Maka aku kembali ke dapur, memasak bersama ibu agar
kami bisa makan siang.
Belum selesai sampai
di situ. Setelah istirahat sebentar, aku ikut ibu bekerja di ladang orang.
Kami memetik sayur,
mengikatnya sesuai ukuran agar siap dijual keesokan harinya.
Kemudian mencucinya,
memastikan semua dalam kondisi segar saat fajar tiba,untuk dibawa ibu kepasar
Lalu, menyapu rumah. Mandi
baru sempat dilakukan menjelang maghrib.
Aku sebenarnya ingin
sekali ikut TPA seperti teman-teman sebayaku. Ingin belajar Al-Qur’an di sore
hari, bersama suara tawa anak-anak dan lantunan ayat suci yang mengisi langit
desa.
Tapi aku tidak bisa.
Waktu dan tenaga sudah
habis untuk membantu orang tuaku.
Satu-satunya waktu
yang bisa kupakai untuk mengaji hanyalah selepas maghrib, saat suasana masjid
sudah sepi.
Selesai mengaji dan
sholat Isya, aku pulang.
Belajar sebentar,
menyiapkan buku untuk esok hari—dan tidur dengan tubuh lelah, tapi hati yang
terus bertanya: "Mengapa aku
merasa berbeda?"
Ada satu kejadian di masa kecilku yang tak pernah hilang dari ingatan. saat aku duduk di bangku Sekolah Dasar dan mengikuti lomba cerdas cermat.
Hari itu mestinya
menjadi hari yang membanggakan. Tapi yang kurasa justru sebaliknya: sunyi,
canggung, dan asing.
Tak ada yang bisa
mengantarku ke tempat lomba. Kami tak punya motor. Ibuku sedang berjualan di
pasar, ayahku bekerja sebagai tukang kayu di desa. Aku hanya diam, menunggu
dalam ketidakpastian. Sampai akhirnya, pamanku bersedia mengantarku ke lokasi
lomba.
Aku tiba di tempat
lomba dengan seragam seadanya. Alat tulisku usang, sudah lama tak baru. Dan di
sana, kulihat anak-anak lain datang rapi, perlengkapan mereka tampak bersih dan
berwarna. Aku merasa kecil. Minder. Seolah tidak pantas berada di antara
mereka.
Saat soal dibagikan,
aku mengerjakan dengan hati berdebar. Tapi jujur, aku tidak terlalu ingat
bagaimana cara aku menyelesaikannya. Rasanya seperti melayang, seperti tidak
benar-benar hadir. Mungkin karena seluruh pikiranku sibuk menahan rasa tidak
layak.
Lalu pengumuman
dibacakan. Dan namaku disebut—juara dua.
Aku tertegun. Tak
mengerti. Aku? Juara?
Wajahku datar. Seakan
otakku belum menangkap kabar itu sepenuhnya. Mungkin karena aku terbiasa tidak
dianggap, jadi ketika akhirnya dianggap, aku malah tak tahu harus bereaksi
bagaimana.
Satu per satu
anak-anak dijemput oleh orang tuanya. Mobil dan motor datang silih berganti.
Hingga akhirnya hanya aku yang tersisa di gerbang tempat lomba.
Aku berdiri sendiri.
Tak ada yang menjemput.
Aku menunggu.
Lama.
Sampai dari kejauhan,
dari arah timur, kulihat sosok yang kukenal: seorang perempuan sederhana,
mengayuh sepeda dengan tenang. Senyum mengembang di wajah lelahnya. Itu ibuku.
Pulang dari pasar yang kebetulan letaknya tak jauh dari lokasi lomba.
Dengan lembut beliau
berkata,
"Ayo nduk,
pulang."
Dan aku membalas
senyumnya.
Naik ke boncengan
sepedanya.
Ibu mengayuh,kami
menyusuri jalan sejauh lima kilometer.
Tanpa pelukan penuh
selebrasi.
Tapi cukup.
Karena dalam senyum
dan peluh ibuku, aku menemukan makna pulang.
bersambung.........
Komentar
Posting Komentar