Wedang Uwuh: Dari Tumpukan “sampah” ke Secangkir Kehangatan Jiwa
Menurut etimologi bahasa Jawa, kata “wedang” berarti minuman hangat. Sementara “uwuh” merujuk pada sampah atau dedaunan kering. Jika diterjemahkan
secara harfiah, wedang uwuh berarti “minuman sampah”. Namun istilah ini bukan
dalam arti negatif, melainkan menggambarkan bentuk fisik minuman tersebut yang
berisi berbagai rempahdan daun kering seperti tumpukan sampah (Suryaningrum dan
Hartati, 2018).
Wedang uwuh dikenal sebagai salah satu minuman herbal tradisional
khas Indonesia yang berasal dari Desa Pajimatan, Kecamatan Imogiri, Kabupaten
Bantul. Daerah Istimewa Yogyakarta. Minuman ini telah menjadi bagian dari warisan
budaya masyarakat setempat (Jatmika et al.,
2017).
Racikan wedang uwuh terdiri atas berbagai jenis rempah – rempah asli
tanah jawa yang telah lama digunakan sebagai bahan dasar pengobatan
tradisional. Komposisinya antara lain jahe, kayu secang, daun dan batang kayu
manis, daun serta akar serai, cengkeh, daun dan biji pala, kapulaga, serta
pemanis alama berupa gula batu (Hartati, 2018).
Wedang uwuh
merupakan minuman tradisional warisan leluhur yang sangat menyehatkan. Minuman
ini merupakan minuman khas dari kecamatan Imogiri, Yogyakarta yang diramu dari
bahan-bahan rempah daun yang bermanfaat bagi kesehatan dan mempunyai rasa yang
nikmat. Namanya mulai dikenal dunia semenjak warisan budaya ini terdaftar
sebagai warisan budaya tak benda asal Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun
2017 (Suryaningrum dan Hartati, 2018).
Sejarah
wedang uwuh memang menyimpan beragam cerita.Banyak versi cerita asal-usul
wedang uwuh yang tersebar di Yogyakarta. Namun, dari sekian banyak sejarah
wedang uwuh, ada 3 sejarah yang paling terkenal ditelinga masyarakat Yogyakarta
antara lain (Suryaningrum dan Hartati, 2018) :
1.Sejarah Sultan Agung Raja Mataram
Asal
mula wedang uwuh berasal dari kisah Sultan Agung, sebagai Raja Mataram di
Yogyakarta. Suatu saat Sultan Agung bersama beberapa pengawalnya sedang mencari
tempat yang akan dijadikan sebagai pemakaman keluarga raja. Beberapa tempat
telah mereka kelilingi, hingga akhirnya Bukit Merak Imogiri (Bantul) terpilih
menjadi tempat yang paling cocok. Sebelum akhirnya pilihan benar-benar
diputuskan, Sultan Agung terlebih dahulu semedi (menyepi) di tempat tersebut
untuk memantapkan hati. Pada malam itu sang raja meminta pada salah seorang
pengawalnya untuk membuatkan minuman untuk menghangatkan tubuhnya dalam proses
semedi di bukit yang dingin itu. Pengawal tersebut kemudian membuatkan Wedang
Secang dan meletakkannya di bawah pepohonan berdekatan dengan tempat semedi
sang raja. Seiring berjalannya malam, angin bertiup riang, menari-nari,
menerbangkan beberapa daun dan ranting pohon. Dedaunan dan ranting-ranting itu
tak sengaja jatuh pada Wedang Secang milik raja. Bercampur dan larut menjadi
satu. Karena gelapnya malam, Sang raja tak menyadari ada yang salah pada
minumannya. Ia pun meminumnya dan menikmatinya tanpa rasa curiga ataupun aneh
sedikitpun. Hari berikutnya sang raja kembali memanggil pengawal dan memintanya
dibuatkan minuman yang sama persis dengan yang ia minum semalam. Sang raja
berkata bahwa minuman yang belum pernah ia rasakan itu sangat enak dan dapat
menghangatkan tubuhnya dari udara dingin Imogiri. Merasa penasaran dengan
perkataan sang raja dan ekspresi kepuasannya itu, pengawal kemudian mengambil
wadah minum sang raja untuk memastikan minuman yang ia buat. Betapa terkejutnya
ia bahwa yang berada di wadah minum adalah bahan-bahan minuman yang bukan ia
buat. Ia kemudian mengamati bahan-bahan yang ada pada wadah tersebut, dan
meraciknya pada malam selanjutnya. Hingga akhirnya minuman itu menjadi favorit
di lidah sang raja dan masyarakat Yogyakarta. Mereka pun menamakannya wedang
uwuh (Astuti, 2017).
2.Sejarah
Prajurit Mataram
Cerita
ini hampir mirip dengan cerita Sultan Agung, namun ada beberapa perbedaan
kecil. Astuti (2017) mengungkapkan konon katanya wedang uwuh pertama kali
dibuat oleh prajurit-prajurit kerajaan Mataram. Tugas berat prajurit kerajaan
saat berperang dengan masuk keluar hutan membuat para prajurit mencari ramuan
untuk menghangatkan badan. Sepanjang perjalanan perang, para prajurit
mengumpulkan bahanbahan yang ada di sekitar, kemudian mencampurnya menjadi
sebuah ramuan. Kelak ramuan inilah yang dikenal dengan sebutan wedang uwuh.
3.Sejarah Ny.
Wajirah
Versi
ini memceritakan seorang wanita yang menjanda dan hidup susah, beliau bernama
Ny. Wajirah. Prasetyo (2008) mengungkapkan bahwa Ny. Wajirah adalah seorang
perempuan yang menjanda sejak tahun 2002. Diceritakan bahwa dahulu saat beliau
sudah aktif membantu bibinya berjualan wedang cengkeh dan wedang jahe dengan
gula batu. Berlokasi di kompleks Makam Raja-raja Imogiri. Setelah beliau dewasa
dan menikah pada tahun 1967, beliau dan suami sempat mengadu peruntungan nasib
di Jakarta. Sembilan tahun kemudian mereka pulang lagi ke Imogiri dan
menggeluti kesibukan sehari-hari sebagai penjual minuman di tempat semula.
Sekitar tahun 1989 dagangannya ditambah nasi pecel kembang turi. Ketika terjadi
gempa bumi 27 Mei 2006 silam, rumah tinggal Ny. Wajirah rusak berat, hampir
roboh, sehingga harus mengungsi di rumah darurat. Dengan kondisi rumah yang
belum benar-benar pulih, beliau tetap melanjutkan berjualan wedang dan pecel.
Seiring berjalannya waktu, beliau menambah beberapa bahan rempah ke dalam
minumannya. Awalnya orang meragukan kesegaran minuman tanpa nama tersebut,
tetapi ketika mencoba malah ketagihan. Di antara para pelanggan di warung Ny.
Wajirah adalah wartawan yang sedang meliput situasi pascagempa bumi. Wartawan
yang menikmati minuman tersebut lantas menyebut minumannya dengan sebutan
minuman sampah. Dari para wartawan tersebutlah nama wedang uwuh didapatkan.
Awalnya Ny. Wajirah keberatan, tetapi setelah dijelaskan bahwa sampah yang
dimaksud merupakan gambaran dari bentuk rempah yang mengapung digelas maka
terkenallah minuman itu sampai saat ini dengan sebutan minuman sampah atau
dalam bahasa Jawa adalah wedang uwuh.
Berbagai
bahan baku yang digunakan dalam wedang uwuh memiliki metabolit sekunder yang
berbeda-beda dan manfaat yang berbeda sehingga dapat bekerja secara sinergis
satu sama lain dalam pemanfaatannya sebagai minuman tradisional yang memiliki
khasiat untuk Kesehatan atau minuman fungsional. Bahan tersebut antara lain (Sinarsih
dan Anton, 2022):
1. Secang (Caesalpinia sappan L.) masuk dalam suku
Caesalpiniaceae dan tersebar luas di Indonesia dengan nama lokal cang (Bali);
naga, sapang (Makasar); sepang (Sasak); soga jawa (Jawa); secang (Sunda);
seupeung, sopang, cacang (Sumatra); sepang (Bugis); sawala, hinianga,
sinyhiaga, singiang (Halmahera Utara); kayu sena (Manado); sepen (Halmahera
Selatan), lacang (Minangkabau); sepel (Timor); hape (Sawu); hong (Alor)
(Karlina et al. 2016). Tanaman secang diketahui memiliki kandungan senyawa
golongan polifenol, flavonoid, alkaloid, dan glikosida flavonoid (Setiawan et
al. 2018). Selain itu secang diketahui memiliki kandungan zat metabolit
sekunder seperti fenolik, flavonoid, tanin, polifenol, kardenolin, antrakinon,
sappan chalcone, caesalpin, resin, resorsin, brazilin, d-alfa phallandren,
oscimenen, dan minyak atsiri (Rina, 2013). Secang merupakan salah satu tanaman
yang bisa digunakan sebagai obat dan pada beberapa penelitian terbukti
menunjukkan aktivitas antioksidan yang tinggi (Setiawan et al. 2018). Daya
antioksidan dari secang diperkirakan karena tingginya kandungan flavonoid dan
polifenol di dalamnya. Selain itu senyawa khas pada secang yaitu brazilin yang
memberikan warna merah pada ekstrak secang pada secang (Rina, 2013). Struktur
inilah yang memiliki efek antioksidan untuk melindungi tubuh dari perburukan
kondisi sel akibat radikal bebas (Setiawan et al. 2018).
2. Kayu Manis (Cinnamomum verum) merupakan salah satu
rempah-rempah yang terkenal di Indonesia bahkan di dunia karena memiliki banyak
manfaat baik sebagai bumbu masakan ataupun bahan obat-obatan tradisional.
Bagian kayu manis yang banyak dimanfaatkan khususnya untuk wedang uwuh adalah
bagian kulit batangnya. Kandungan kimia kayu manis yaitu sinamaldehid, senyawa
polifenol, flavonoid, katekin, epikatekin, tanin, senyawa minyak atsiri
fenolik, kumarin, dan kuersetin (Antasionasti et al, 2021). Selain itu, Mubarak
et al. mendapatkan hasil jika ekstrak kayu manis mengandung alkaloid, saponin,
tanin, polifenol, flavonoid, kuinon dan triterpenoid (Mubarak et al., 2016).
Senyawa kimia yang khas dari kayu manis dari banyaknya golongan senyawa yang
terkandung di dalamnya adalah sinamaldehid. Sinamaldehid dan senyawa lain yang
terkandung di dalam kayu manis berkorelasi dan memberikan berbagai bioaktivitas
bermanfaat bagi Kesehatan. Bioaktivitas dari senyawa-senyawa kimia metabolit
sekunder yang terdapat dalam kayu manis beberapa diantaranya yaitu antibakteri,
salah satunya Enterococcus faecalis
yang berkaitan dengan penyakit pada gigi dan mulut (Mubarak et al., 2016),
sebagai antioksidan bahkan sedang dikembangkan untuk formulasi sediaan tabir
surya (Paramawidhita, et al., 2019), sebagai antidiabetes (Hananti et al.
2018). Selain sinamaldehid, asam benzoat yang secara alami terdapat dalam kayu
manis dapat digunakan sebagai bahan pengawet produk pangan (Rorong 2019).
3.Kapulaga (Amomum cardamomum) merupakan salah satu
tanaman yang tumbuh alami di berbagai negara seperti India, Thailand, dan
Indonesia. Kapulaga memiliki berbagai nama daerah, beberapa diantaranya
kapulogo (Jawa); kapulaga, karkolaka (Bali); kapulaga, garidimong (Sulawesi
Selatan); pelaga, puwar pelaga (Sumatra) (Batubara, 2020). Secara tradisional
kapulaga terkenal memiliki manfaat sebagai bahan obat alami untuk melegakan
tenggorokan, menghilangkan bau mulut, mengobati perut kembung dan radang
tenggorokan. Golongan senyawa metabolit sekunder dikenal dan terbukti memiliki
banyak bioaktivitas seperti antibakteri, antijamur, antidiabetes, antioksidan,
dan penurun kadar kolesterol. Sebagian besar penelitian mengenai kapulaga
mengarah pada aktivitas antimikroba. Salah satunya penelitian yang silakukan
oleh Komala et al. yang menunjukkan aktivitas antibakteri dari kapulaga
terhadap bakteri Streptococcus pyogenes
yang merupakan bakteri penyebab paling umum dari faringitis akut (radang
tenggorokan) (Komala et al., 2020). Selain itu kapulaga juga dilaporkan dapat
menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dan Gram negative seperti Staphylococcus aureus dan Eschericia coli (Sukandar et al. 2016).
4.Jahe (Zingiber officinale) merupakan salah
satu rempah-rempah yang berasal dari Asia dan sejak jaman dahulu terkenal di
Eropa. Secara tradisional jahe banyak dimanfaatkan sebagai jamu untuk mengatasi
masalah tenggorokan, batuk, nyeri otot, diare, rematik, kram otot, sinusitis,
flu, gangguan pencernaan, dan kehilangan nafsu makan (Yuliningtyas et al.
2019). Kandungan metabolit sekunder dari jahe yang beragam diketahui sangat
bermanfaat sebagai antimikroba baik itu sebagai antijamur ataupun antibakteri.
5.Pala (Myristica fragrans Houtt) merupakan
tanaman komoditas utama di Indonesia yang tersebar hampir di seluruh wilayah
Indonesia seperti maluku, Sulawesi, Aceh, Sumatra, Jawa barat, dan papua.
Atmaja et al. melakukan penelitian terhadap metabolit sekunder biji pala dan
memberikan hasil positif senyawa golongan alkaloid, saponin, tanin, flavonoid,
dan terpenoid (Atmaja et al. 2017). Hasil ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Arrizqiyani et al. yang mendapatkan hasil positif kandungan
flavonoid, alkaloid, dan terpenoid pada pengujian biji pala (Arrizqiyani et al.
2018). Selain itu minyak atsiri biji pala mengandung senyawa seperti
myristicin, 4-terpineol, safrol, sabinen, α-pinene, δ-limonen. Pemanfaatan buah
pala sebagai bahan baku obat herbal tradisional berkaitan dengan bioaktivitas
buah pala yaitu sebagai antibakteri. Buah pala menunjukkan adanya aktivitas
penghambatan pertumbuhan bakteri gram positif maupun Gram negatif yaitu S. aureus (Atmaja et al. 2017) dan E.coli
(Arrizqiyani, et al. 2018), S. aureus, B.
subtilis, B. cereus (Wibowo et al. 2018). Selain sebagai antibakteri, pala
juga memiliki aktivitas antioksidan (Suloi, et al 2021).
6.Sereh (Cymbopogon nardus L.) Tanaman sereh
dikenal dengan nama berbeda di setiap daerah yaitu sereh atau sere (Jawa),
serai, sorai atau sanger-sange (Sumatra), belangkak (Kalimantan); see, nau
sina, bu muke (Nusa Tenggara; tonti atau sare (Sulawesi), hisa atau isa
(Maluku). Sereh mengandung beberapa senyawa metabolit sekunder seperti
sitronelal, geraniol, flavonoid, luteolin, kuersetin, glikosida, kaempferol,
katekol, elimisin, asam klorogenat, dan asam caffeic (uddin et al. 2019).
Senyawa sitronelal dari sereh inilah yang paling berperan terhadap bioaktivitas
sereh khususnya sebagai antibakteri (Bota et al. 2015). Selain itu senyawa
golongan fenolik dan flavonoid memiliki peran sebagai antioksidan (Jalaluddin
et al. 2019). Bioaktivitas dari sereh yang paling menonjol adalah aktivitas
antioksidan serta antimikroba baik sebagai antibakteri dan antijamur. Sereh
dilaporkan menunjukkan aktivitas antibakteri terhadap Streptococcus mutans penyebab masalah gigi dan mulut (Dewi et al.
2015) aktivitas antijamur terhadap Candida
albicans (Fitriani et al. 2013). Selain itu Bota et al. melaporkan bahwa
sereh menunjukkan aktivitas positif sebagai antibakteri khususnya pada bakteri
gram positif seperti B. cereus, S.
aureus, M. luteus namun menunjukkan hasil negatif pada beberapa bakteri
Gram negatif seperti E. coli, P. tollasi,
P. mirabillis (Bota et al. 2015).
7.Cengkeh (Syzygium aromaticum) merupakan salah
satu rempah yang sangat terkenal di masyarakat karena manfaatnya secara
tradisional sebagai penghangat tubuh dan salah satu rempah untuk membuat bumbu
masakan. Seiring dengan perkembangan sains tentunya pemanfaatan cengkeh tidak
hanya sebagai bumbu masakan namun banyak dilakukan studi untuk mengetahui
manfaat cengkeh terhadap kesehatan dan peningkatan kualitas hidup manusia.
Manfaat kesehatan dari cengkeh tentunya diperoleh dari bioaktivitas
senyawa-senyawa kimia yang terdapat di dalamnya. Cengkeh diketahui memiliki
berbagai bioaktivitas, beberapa diantaranya antioksidan dan antimikroba (Kalalo
et al., 2020). Aktivitas antimokroba cengkeh beberapa diantaranya adalah
menghambat pertumbuhan baktei Porphyromonas gingivalis penyebab penyakit
periodontal dengan kategori daya hambat kuat (Paliling et al. 2016). Aktivitas
antioksidan cengkeh juga menunjukkan hasil positif ketika diuji menggunakan
radikal bebas alkil, hidroksil, dan peroksil (Nurjannah et al. 2013). Cengkeh
mengandung saponin, tannin, flavonoid, dan polifenol (Fatimatuzzahroh et al.
2016). Selain itu minyak atsiri cengkeh mengandung senyawa utama yang khas
yaitu eugenol (Andries et al. 2014). Untuk memperoleh eugenol dari minyak
atsiri cengkeh ini cara yang paling tepat digunakan adalah distilasi uap karena
eugenol termasuk ke dalam zat yang mudah menguap sehingga proses pemanasan yang
terlalu tinggi dapat menurunkan kadar eugenol yang dihasilkan karena penguapan.
8.Gula batu sebagai
pemanis memberikan rasa manis yang khas pada Wedang Uwuh tanpa menghilangkan
aroma dan cita rasa asli dari bahan-bahan lainnya.
🌿 Wedang uwuh secara harfiah maknanya memang “minuman sampah”
merujuk pada tampilannya yang penuh dengan dedaunan dan rempah – rempah yang
acak. Namun spiritualitas Jawa, ustru disitullah letak kebijaksanaan
tersembunyi.
1.
Simbol kesederhanaan
dan Kesejatian
Wedang uwuh mengajarkan bahwa tidak semua yang terlihat sederhana
itu bernilai rendah. Daun – daun dan rempah yang dianggap tak berharga bisa
menjadi minuman berkhasiat bila dipadukan dengan niat dan harmoni. Mencerminkan filosofi “urip iku sawang
sinawang” hidup bukan soal tampilan luar, tapi makna batin
2.
Penyatuan dan
Keseimbangan
Bahan wedang uwuh membawa karakter dan energi sendiri: pedas dari
jahe, manis dari gula, harum dari cengkeh, sejuk dari secang. Semua berpadu
dalam satu wadah. Mewakili harmoni antara unsur api, air, udara dan tanah. Sejalan
dengan ajaran Jawa tentang pentingnya hidup selaras dengan alam
3.
Minuman raga
dan jiwa
Wedang uwuh disajikan dalam momen hening, ngobrol santai, atau
menjelang tidur. Ia menenangkan pikiran, membuka ruang refleksi, dan membantu
membersihkan “energi berat” dalam tubuh. Tidak hanya menyentuh tubuh tapi juga
menyelaraskan batin.
🌿 Kegiatan
minum tidak hanya sekedar untuk penghilang rasa haus.akan tetapi sebuah laku
kesadaran. Dimulai dengan satu helaan nafas sebelum meneguk, disertai jeda
hening yang memberi ruang bagi hangatnya minuman menyatu dengan tubuh. Wedang uwuh
hadir sebagai penghubung halus antara dunia luar yang riuh dan ruang batin yang
tenang. Minuman ini mengajarkan bahwa sesuatu yang tampak tak berguna
mengandung makna dan kebijaksanaan, dengan memberi ruang waktu untuk merasakan
dalam keheningan.
Daftar Pustaka :
Hartati, Anies S. 2018. Wedang
Uwuh, Warisan Budaya Takbenda Sebagai Alternativ Oleh-Oleh Khas Yogyakarta.
Artikel Publikasi. http://www.lintasmedika.com/2018/06/
wedang-uwuh-warisan-tak-benda-sebagai-alternativ-oleh-oleh-khas-yogyakarta/
Jatmika, SED, (Edisi Khusus KI
Kintoko - Jurnal Riset Daerah, and undefined). 2017. “Inovasi Wedang uwuh Yang
Memiliki Khasiat Untuk Penderita Hipertensi Dan Diabetes Melitus.”
jrd.bantulkab.go.id.
https://jrd.bantulkab.go.id/wp-content/uploads/2017/11/INOVASIWEDANG-UWUH-YANG-MEMILIKI-KHASIAT.pdf
Sinarsih, N. K., dan Anton, S. S.
2022. Kajian Kimia Wedang Uwuh Sebagai Minuman Kesehatan Herbal Tradisional. Jurnal Yoga dan Kesehatan Vol. 5 No.1 , 1 Maret 2022 :
1–13.
Suryaningsum, S., & Hartati,
A. S. (2018). Peningkatan kualitas produksi usaha wedang uwuh untuk
meningkatkan ekonomi masyarakat Dusun Kerten Imogiri Bantul. Jurnal Ekonomi Manajemen Sumber Daya Vol. 20 No. 2
Komentar
Posting Komentar