Tuhan Tidak Pernah Jauh: Kecerdasan Spiritual dan Seni Mendekat



        Ada kala dalam hidup ketika jiwa terasa sepi, meskipun dunia di sekitar hiruk-pikuk.  Melewati hari demi hari, bergelut dengan kebiasaan, memenuhi tuntutan, mengejar pencapaian. Tetapi ada ruang hening di dalam diri yang tetap kosong. Di situlah kita mulai bertanya, bukan kepada orang lain, tetapi kepada diri sendiri: "Apa sebenarnya yang aku inginkan?" 

    Beberapa orang menyebutnya krisis arti, sementara yang lain menyebutnya suara hati. Namun para pencari mengatakannya sebagai tanda, petunjuk bahwa jiwa kita sedang diajak untuk kembali. Bukan kembali secara fisik, melainkan kembali secara spiritual, menuju asal segala ketenangan:Tuhan. 

    Bukan tentang hafalan atau ritual, namun tentang kesadaran. Kesadaran akan adanya Ilahi dalam setiap hembusan napas, dalam setiap peristiwa, bahkan dalam ketidaktenangan yang paling hening. Kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk merasakan sesuatu yang tidak terlihat, memahami hal-hal yang tidak terucap, dan mendekat dalam keheningan. 

    Saat mulai mendekat, baru kita menyadari: Tuhan sebenarnya tidak pernah jauh. Kita yang menghindar. Melalui sikap angkuh, ketidakpedulian, keterikatan pada duniawi. Seperti cahaya yang tidak pernah meninggalkan ruang gelap, kehadiran-Nya tidak pernah hilang dari hati. Kita perlu menghidupkan kesadaran untuk merasakan-Nya. 

    Di era ketika segala sesuatu dapat ditemukan dalam sekejap, manusia mudah kehilangan arah. Tinggal di dunia yang selalu terhubung, namun semakin lama terasa hampa di dalam. Di balik cahaya terang, jiwa semakin kelam. Melihat notifikasi, tetapi melupakan melihat ke dalam. Fokus mempercantik penampilan luar, tetapi tidak menyadari keadaan batin. 

    Hidup di era di mana saling menunjukkan pencapaian, tetapi jarang ada yang membahas tentang kehampaan. Merasa bangga akan keberhasilan, tetapi banyak yang meratapi kesepian di malam hari dengan diam. Tampak baik-baik saja dari luar, tapi terluka di dalam, tidak tahu kepada siapa harus bersandar. 

    Kecerdasan spiritual bukan sekadar pilihan mewah, tetapi kebutuhan yang mendesak. Bukan hanya pelengkap hidup, tetapi petunjuk yang menandakan jalan saat segalanya tampak samar. Kecerdasan spiritual merupakan kemampuan untuk tetap tenang di tengah kesulitan, jelas di antara berbagai informasi yang membingungkan, dan menyadari bahwa kehidupan ini lebih dalam dari sekadar apa yang terlihat. 

    Ia mengundang untuk sejenak berhenti dari ritme dunia, agar mendengar kembali suara paling hening dalam diri suara yang selama ini kita lupakan. Mengingatkan bahwa Tuhan tidak pernah jauh, hanya saja kita terlalu ribut untuk mendengar-Nya. Terlalu padat untuk merasakan. Terlalu terburu-buru untuk menyapa. 

    Di tengah melimpahnya konten dan ketergantungan pada pengakuan, mendekati Tuhan menjadi suatu seni yang aneh namun menyembuhkan. Seni mendekat ini bukan hanya mengenai ibadah ritual, melainkan tentang kehadiran dalam diri, ketulusan, dan kejernihan jiwa. Sebuah jalan yang mungkin terlupakan, cahaya bagi jiwa. 

Kecerdasan Spiritual

    Definisi cerdas dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah sempurna perkembangan akal budinya (pandai, tajam pikiran). Sedangkan kecerdasan adalah kesempurnaan perkembangan akal budi, seperti kepandaian dalam ketajaman pikiran. Kecerdasan berasal dari kata “cerdas” yang berarti sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti), yaitu perbuatan mencerdaskan, kesempurnaan perkembangan akal budi. Menurut Gunawan dalam bukunya Genius Learning, definisi kata cerdas atau intellegence adalah sebagai berikut (Safitri et al., 2023):

  1. Kemampuan untuk mempelajari atau mengerti dari pengalaman, kemampuan untuk mendapatkan dan mempertahankan pengetahuan serta mental
  2. Kemampuan untuk memberikan respon secara cepat dan berhasil pada situasi yang baru dan kemanapun untuk menggunakan nalar dalam memecahkan masalah. 
  3. Kemampuan untuk mempelajari fakta-fakta dan keahlian-keahlian serta mampu menerapkan apa yang telah dipelajari, khususnya bila kemampuan itu berhasil dikembangkan.

    Spiritual berasal dari kata “spirit” yang berarti semangat, jiwa, sukma dan ruh, yaitu berhubungan dengan atau bersifat kejiwaan (ruhani, batin) Dalam spiritualitas Islam, kecerdasan intelektual dapat dihubungkan dengan kecerdasan akal pikiran (‘aql). Kecerdasan emosional dihubungkan dengan emosi diri (nafs), sedangkan kecerdasan spiritual mengacu kepada kecerdasan hati dan jiwa, yang menurut terminologi al-Qur’an disebut dengan ruhiyah atau qalb (Sukidi dalam Safitri et al., 2023).

    Secara harfiah, Kecerdasan Spiritual [(SQ) (Spiritual Quotient)] dalam Bahasa Inggris adalah kemampuan yang bekerja di otak dengan fungsi untuk mengintegrasikan kecerdasan yang dimiliki oleh individu. SQ dapat menjadikan manusia sebagai makhluk yang dewasa dan utuh baik secara intelektual, emosional, maupun spiritual. SQ adalah sekumpulan kecerdasan dalam jiwa (Dahlan, 2019) yang dapat mendukung individu dalam menyembuhkan dan membangun dirinya secara menyeluruh. Ini berada di dalam diri seseorang, yang mampu berinteraksi dengan di luar ego atau pikiran sadar, sehingga seseorang tidak hanya merasakan nilai yang ada, tetapi juga secara mendalam dapat menemukan nilai-nilai baru. Selain itu, Spiritual Quotient adalah kecerdasan untuk menghadapi dan menyelesaikan berbagai masalah, sehingga dengan demikian seseorang dapat menyadari setiap tindakannya dalam menjalani hidup yang lebih bermakna dibandingkan yang lain. 

    Mengacu pada pandangan pemikiran tokoh Al-Ghazali, seorang Muslim memiliki kecerdasan ruhani yang akan mencerminkan sosoknya sebagai individu yang profesional, berakhlak, dan membawa kemaslahatan dalam hidupnya yang terus dipenuhi dengan rasa cinta, sehingga menjadikan hidup lebih bermakna dan siap menghadapi kematian (Pembebas Kesesatan, n.d.). Kecerdasan Spiritual adalah kemampuan yang dimiliki setiap individu untuk mengatur nilai dan norma yang merupakan bagian dari kualitas hidup (Yufi, 2023).

    Awal mula dari seorang tokoh psikologi yang menunjukkan bahwa kecerdasan emosional atau EQ (Emotional Quotient) memiliki nilai penting sebanding dengan kecerdasan intelektual, yang mana hal itu bisa merasakan kesadaran terhadap perasaan setiap individu dan juga perasaan orang lain. Di sisi lain, EQ juga memberikan rasa empati, cinta, motivasi, dan kemampuan dalam menanggapi kesedihan atau kebahagiaan dengan tepat. Seperti yang dinyatakan Goleman, EQ menjadi syarat dasar untuk mengoperasikan IQ secara efektif, karena jika bagian dari otak tidak berfungsi dengan baik, manusia tidak dapat berpikir secara efektif (Ghufron, 2016). 

    Selanjutnya, di penghujung abad ke-20 muncul istilah Q tipe ketiga dari temuan ilmiah terbaru yang kini masih jarang dibahas. Representasi lengkap mengenai suatu kecerdasan yang dimiliki oleh manusia dapat diperkaya dengan diskusi tentang Kecerdasan Spiritual. Kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk menghadapi segala tantangan yang terkait dengan makna dan nilai, yang berfungsi untuk menempatkan perilaku serta kehidupan individu dalam konteks yang lebih luas, dengan pemahaman akan nilai-nilai kehidupan yang dialami. Kecerdasan ini memungkinkan seseorang untuk mengevaluasi tindakan atau kehidupannya dengan lebih berarti dibandingkan dengan yang lain. Di sini, SQ diperlukan untuk mengendalikan pengoperasian IQ dan EQ dengan baik dan efektif; SQ bahkan dianggap sebagai kecerdasan tertinggi yang dimiliki manusia (Sagala et al., 2019). Sebab itu, menurut Danah Zohar dan Ian Marshal yang dikutip oleh Akhmad Muhaimin Azzet, dalam kutipan itu terdapat sembilan tanda orang yang memiliki Kecerdasan Spiritual tinggi, antara lain sebagai berikut (Mustofa, 2018) :

  1. Kemampuan untuk bersikap lembut. 
  2. Mempunyai tingkat kecerdasan yang tinggi. 
  3. Kemampuan untuk menghadapi sebuah kesulitan. 
  4. Mampu mengatasi ketidakpastian. 
  5. Menjalani kehidupan yang sejalan dengan kodratnya. 
  6. Dapat mengurangi hal-hal yang tidak berguna. 
  7. Memiliki berbagai sudut pandang dalam banyak hal. 
  8. Rasa ingin tahu yang besar. 
  9. Pemimpin dengan rasa pengabdian dan rasa penuh bertanggung jawab

    Dalam konteks pendidikan, kecerdasan spiritual adalah jenis kecerdasan yang terkait dengan kualitas batin individu, kecerdasan yang memandu seseorang melakukan tindakan yang lebih beradab, agar dapat mencapai nilai-nilai mulia yang mungkin masih belum dijangkau oleh pemikiran manusia. Imam al-Ghazali dalam karya beliau Ihya' Ulumuddin menyatakan bahwa kecerdasan spiritual ini berkaitan dengan dimensi spiritual yang oleh karenanya disebut dengan ruhiyah atau jiwa. Imam al-Ghazali menjelaskan hati sebagai dua makna, yaitu: 

  • Pertama, dalam bentuk lahir, hati yaitu sepotong daging yang terletak di bagian kiri dada, di dalamnya terdapat rongga berisi darah hitam. 
  • Kedua, hati adalah sebuah lathifah (sesuatu yang amat halus dan lembut, tidak kasat mata, tak berupa dan tak dapat diraba) bersifat bersifat rabbaniyah, ruhaniyah, dan merupakan inti manusia. Eksistensi hati menjadi tempat pengetahuan spiritual di samping hati merupakan sesuatu yang mendapat balasan dalam kaitannya dengan perbuatan baik maupun perbuatan buruk.

    Al-Ghazali mendefinisikan kecerdasan spiritual menggunakan istilah Qalb yang merupakan hakikat hakiki dari manusia, karena sifat dan keadaannya yang bisa menerima, berkemampuan, berpikir, mengenal, dan beramal. Hati merupakan tempat kebaikan, seperti kesalehan, ketegasan, kelembutan, keluasan, perdamaian, cinta, dan taubat. Secara esensi, hati sesungguhnya lebih tertarik kepada Tuhan dan hanya mencari kenikmatan pada Tuhan. Hati dalam pengertian spiritual ini, begitu sentral dalam kehidupan manusia. Hati secara langsung bereaksi atas setiap pikiran tindakan manusia (Safitri, et al., 2023)

       Setiap perkataan dan tindakan baik akan memperlembut hati. Di dalam makna yang kedua inilah pengertian hati yang menjadi pusat kecerdasan spiritual manusia sebagaimana hati adalah lathifah (sesuatu yang amat halus dan lembut, tidak kasat mata, tak berupa dan tak dapat diraba) bersifat rabbaniyah, ruhaniyah, dan merupakan inti manusia. Hati yang dimaksud adalah hakikat spiritual yang dimiliki setiap orang bukan hati dalam pengertian fisik sebagaimana makna pertama yang dikemukakan al-Ghazali. Hati inilah yang mempunyai makna sebagai sumber cahaya batin, inspirasi, kreatifitas, dan belas kasih. Karena itu, orang yang hatinya hidup, selalu terjaga, dan dilimpahi cahaya adalah manusia sejati yang hidupnya bermakna dan berkualitas (Safitri, et al., 2023)

    Seseorang yang cerdas spiritual selalu berpikir bahwa Tuhan itu ada di manapun dia berada, menganggap semua orang setara, mengakui kelebihan dan kekurangan orang lain. Seseorang yang cerdas spiritual sadar bahwa Tuhan mengutusnya ke bumi untuk sebuah maksud yaitu beribadah kepada-Nya. Dengan kata lain, orang yang memiliki intelektual yang tinggi belum tentu dapat berhasil dalam pekerjaan maupun masyarakat, kecerdasan intelektual harus diimbangi dengan kecerdasan emosi dan spiritual (Safitri, et al., 2023).

    Menurut Agustian, ciri-ciri orang yang cerdas adalah seorang yang memilki kecerdasan spiritual dalam kehidupan sehari senantiasa berprilaku baik, atau akhlaqul karimah. Perilaku ini seperti istiqomah, kerendahan hati, tawakkal (berusaha dan berserah diri), keikhlasan (ketulusan), kaffah (totalitas), tawazun (keseimbangan), ihsan (integritas dan penyempurnaan). Pada akhirnya, akan tercapai yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga diimbangi dengan kecerdasan emosi-spiritual yang tinggi. Bahkan secara ekstrem, manusia yang memiliki spiritual baik akan memiliki hubungan yang kuat dengan Tuhan sehingga akan berdampak kepada kepandaiannya dalam berinteraksi dengan manusia (Safitri, et al., 2023).

Proses Pengembangan Pendidikan Cerdas Spiritual dalam Individu Menurut Al Ghazali 

    Manusia sebenarnya diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang memiliki kesadaran. Kesadaran manusia itu dapat disimpulkan dari kemampuannya berpikir, berkehendak, dan merasa. Dengan pikirannya, manusia mendapatkan ilmu pengetahuan. Menurut al-Ghazali, ilmu adalah mengetahui sesuatu menurut apa adanya dan ilmu itu adalah sebagian dari sifat-sifat Tuhan. 

    Ilmu merupakan bagian yang integral bagi setiap pribadi manusia. Termasuk suatu kesempurnaan iman seseorang apabila pelaksanaan perintah Tuhan yang dikerjakan atas dasar ilmu. Dalam proses pengembangan pendidikan cerdas spiritual al-Ghazali, dilandaskan kepada ibadat yang bersifat vertikal, al-‘adat yang bersifat horizontal dan akhlak yang bersifat individual dan semuanya mengacu kepada pembentukan keharmonisan hubungan manusia dalam menyesuaikan diri dengan Tuhan, sesama manusia serta dengan diri sendiri. Setiap manusia yang dijadikan Tuhan diberikan akal dan emosi agar manusia bisa menjalankan dengan sebaik mungkin. Kecerdasan spiritual membimbing seseorang untuk mendidik hati menjadi benar dengan dilandaskan kepada ibadat yang bersifat vertikal (Sutiyono dalam Safitri et al., 2023). 

    Cerdas spiritual dapat mendidik hati seseorang untuk menjalin hubungan dengan Tuhannya. Islam memerintahkan dalam al-Qur’an untuk berdzikir, karena dzikir berkorelasi positif dengan ketenangan jiwa dan menjadikan hati seseorang dalam kedamaian dan penuh kesempurnaan secara spiritual. Secara horizontal, SQ mendidik hati seseorang ke dalam budi pekerti yang baik dan moral yang beradab.

       Imam al-Ghazali mengajak untuk mengaktifkan, mengasah, dan menggunakan intelligence manusia dengan membiasakan diri berpikir dan bertafakkur mulai dari seseorang bangun tidur sampai dengan kembali ke peraduan untuk tidur kembali.

    

🌸Hati, menurut perspektif para sufi, bukan hanya seonggok daging yang mendistribusikan darah. Ia merupakan lathifah, sesuatu yang lembut, tak terlihat, tak dapat diraba, tetapi menjadi inti dari semua emosi dan arti. Ia bersifat ketuhanan dan spiritual, datang dari sisi yang Ilahi, dan oleh karena itu ia dapat merasakan keberadaan-Nya. Di situlah inti dari kecerdasan spiritual: saat hati menyadari sumbernya, kemudian merindukan untuk pulang. 

🌸Hati inilah yang memperoleh cahaya pengetahuan dari Tuhan, dan hati juga yang akan menjadi saksi atas perbuatan baik dan buruk kita. Semakin hati disucikan, semakin jelas ia menerima tanda tanda-Nya. Semakin ia berlatih dalam keikhlasan, kesabaran, dan renungan, semakin terang sinar-Nya di dalam jiwa. Titik ini, manusia menyadari bahwa Tuhan tidak pernah jauh. 

🌸Yang jauh hanya sekadar hati yang berdebu. Yang mengurangi jarak hanyalah kelalaian diri kita sendiri. Namun ketika hati kembali jernih, ketika kita belajar untuk tenang dan mendengarkan, maka cahaya-Nya akan terasa sangat dekat, bahkan lebih dekat daripada urat leher kita sendiri. 

Kecerdasan spiritual yang sesungguhnya bukan sekadar tahu banyak, tapi tentang merasakan kembali bahwa Dia senantiasa hadir, selalu menemani, dan selalu menunggu kita untuk mendekat. Mendekat dengan jiwa yang lembut, merendah, dan kerinduan. 


Daftar pustaka :

Dahlan, Jaeni. 2019. Spiritual Quotient (SQ) Menurut Danah Zohar & Ian Marshall Dan Ary Ginanjar Agustian Serta Implikasinya Terhadap Domain Afektif Dalam PendidikanIslam.  Tesis. IAIN Purwokerto.

Ghufron, M Nur. 2016. Peran Kecerdasan Emosi Dalam Meningkatkan Toleransi Beragama. 

Mustofa, Ali. 2018. Sufism Education Is a Solution for Spiritual Intelligence and Character Building Capability. Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al Urwatul Wutsqo Jombang.

Safitri, D., Zakaria, & Kahfi, A. 2023. Pendidikan Kecerdasan Spiritual Perspektif Al-Ghazali dan Relevansinya dengan Emotional Spiritual Quotient (ESQ). Tarbawi, 6(1). p-ISSN 2088-5733; e-ISSN 2715-4777.

Sagala, Rumadani, et all. 2019. Pendidikan Spiritual Keagamaan (DalamTeori DanPraktik). Annual Conference on Islamic Education and Social Sains (ACIEDSS 2019).

Yufi, M. 2023. Nilai-nilai tasawuf Al-Ghazali dalam Meningkatkan Spiritual Quotient (SQ) pada santri. Spiritualita: Journal of Ethics and Spirituality, 7(2). p-ISSN 2614-1043; e-ISSN 2654-7554.


Komentar