PENGANTAR
Banyak manusia menjalani hidup tanpa benar-benar memahami diri. Mengetahui nama, latar belakang, pekerjaan, serta impian. Namun kerap tidak menyadari lapisan terdalam dalam diri. Ketakutan yang mempengaruhi keputusan, luka yang belum teratasi, atau harapan yang disimpan. Kecerdasan emosional meminta untuk berhenti sejenak dan menyapa diri yang mungkin selama ini terlupakan. Dengan menyadari emosi yang timbul. Apakah itu sedih, marah, kecewa, atau bahagia. Belajar menangkap pesan yang dikirimkan oleh hati. Emosi kini tidak dilihat sebagai masalah, melainkan sebagai petunjuk untuk memahami diri dengan lebih baik.
KECERDASAN EMOSIONAL
Kecerdasan emosional (KBBI, 2023) adalah kepandaian ataupun ketajaman pikiran yang berkaitan dengan hati dan kepedulian antar sesama manusia, makhluk lain, dan alam sekitar.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengenali, memahami, mengelola, dan mengarahkan emosi sendiri serta emosi orang lain. Menurut Goleman (2015), kecerdasan emosional mencakup lima komponen utama: kesadaran diri (awareness), pengaturan diri (self-regulation), motivasi (motivation), empati (empathy), dan keterampilan sosial (social skills). Kesadaran diri melibatkan pengenalan akan emosi saat terjadi, sementara pengaturan diri berhubungan dengan kemampuan untuk mengelola reaksi emosional agar lebih produktif. Motivasi dalam konteks kecerdasan emosional merujuk pada kemampuan untuk mengarahkan emosi menuju tujuan yang konstruktif. Empati, sebagai komponen penting, memungkinkan individu untuk memahami dan merespons emosi orang lain secara tepat, sementara keterampilan sosial mencakup kemampuan dalam berinteraksi dan membangun hubungan yang baik (Suryaningsih, et al., 2024)
Salovey dan Mayer (2016) menyatakan bahwa kecerdasan emosional melibatkan kemampuan untuk memahami emosi sendiri dan orang lain, mengelola emosi secara efektif, serta menggunakan pengetahuan emosional ini untuk meningkatkan kualitas hidup. Dalam konteks ini, kecerdasan emosional tidak hanya mengenai kognisi emosional, tetapi juga kemampuan praktis dalam menghadapi tantangan emosional sehari-hari. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kecerdasan emosional berkorelasi positif dengan kesejahteraan psikologis dan keberhasilan di berbagai bidang kehidupan, termasuk pendidikan, karier, dan hubungan interpersonal (Brackett & Rivers, 2020).
Komponen kecerdasan emosional merujuk kepada kemampuan seseorang untuk mengenali, memahami, mengelola, dan menggunakan emosi dengan efektif dalam berbagai situasi kehidupan. Berikut adalah penjelasan relevan mengenai komponen kecerdasan emosional (Suryaningsih et al., 2024) :
1) Pemahaman Emosi (Emotional Awareness)
Pemahaman emosi merupakan salah satu komponen utama dalam kecerdasan emosional yang secara substansial dipelajari dalam konteks psikologi dan neurosains. Menurut Mayer, Roberts, dan Barsade (2008), pemahaman emosi mencakup kemampuan untuk mengenali dan memahami emosi pada diri sendiri maupun orang lain dengan tepat. Hal ini melibatkan kemampuan untuk menginterpretasikan ekspresi emosi, serta menilai dampak emosi dalam situasi tertentu (Mayer et al., 2008). Goleman (2011) menekankan bahwa pemahaman emosi memungkinkan individu untuk menangkap nuansa emosional yang halus dan membedakan antara berbagai nuansa emosi seperti rasa takut, kecemasan, atau bahagia, yang penting untuk pengambilan keputusan yang efektif dalam kehidupan seharihari (Goleman, 2011).
Secara neurologis, pemahaman emosi dikaitkan dengan aktivitas korteks prefrontal, amigdala, dan area otak lain yang terlibat dalam pemrosesan emosi dan persepsi sosial. Ahli neurosains seperti Adolphs (2003) menunjukkan bahwa kerusakan pada area otak tertentu dapat mengganggu kemampuan seseorang untuk memahami dan merespons emosi secara tepat, menggarisbawahi pentingnya interaksi antara struktur otak dan kemampuan pemahaman emosi (Adolphs, 2003). Selain itu, pengembangan pemahaman emosi terkait erat dengan pembelajaran sosial sepanjang hidup, yang mencakup kemampuan untuk mengasah intuisi sosial dan meningkatkan empati terhadap orang lain (Brackett & Katulak, 2019). Hal ini mencerminkan konsep bahwa pemahaman emosi tidak hanya bersifat intrapersonal (terkait dengan diri sendiri), tetapi juga interpersonal (terkait dengan interaksi sosial).
2) Mengelola Emosi (Emotional Management)
Mengelola emosi merupakan salah satu komponen kunci dalam kecerdasan emosional yang penting untuk meningkatkan kualitas interaksi sosial dan kesejahteraan psikologis individu. Menurut Mayer, Salovey, dan Caruso (2016), mengelola emosi melibatkan kemampuan untuk mengatur dan mengelola emosi positif dan negatif secara efektif, sehingga dapat mempengaruhi perilaku dan keputusan individu secara produktif (Mayer et al., 2016). Hal ini mencakup strategi untuk mengurangi stres, meningkatkan daya tahan terhadap tekanan, dan mempromosikan respon yang adaptif dalam situasi-situasi yang menantang (Brackett & Rivers, 2014). Menurut Goleman (2011), mengelola emosi juga mencakup kemampuan untuk mengendalikan impuls dan mengatur ekspresi emosi, sehingga individu mampu menjaga hubungan sosial yang harmonis dan mempertahankan keseimbangan psikologis yang positif (Goleman, 2011).
Secara neurobiologis, mengelola emosi terkait dengan fungsi regulasi emosi yang dilakukan oleh korteks prefrontal dan sistem limbik dalam otak. Penelitian oleh Davidson dan McEwen (2012) menunjukkan bahwa latihan mengelola emosi dapat memperkuat koneksi antara korteks prefrontal dan amigdala, sehingga meningkatkan kemampuan individu untuk meredakan emosi negatif dan mengoptimalkan pengalaman emosional yang positif (Davidson & McEwen, 2012). Selain itu, penelitian neurosains juga menunjukkan bahwa teknik-teknik seperti meditasi dan mindfulness dapat meningkatkan kontrol diri dan memperbaiki respons fisiologis terhadap stres, mendukung gagasan bahwa mengelola emosi bukan hanya bersifat psikologis tetapi juga memiliki dasar neurologis yang kuat (Tang et al., 2015). Dengan demikian, pengembangan kemampuan mengelola emosi tidak hanya berdampak pada kesejahteraan psikologis individu tetapi juga pada kesehatan otak secara keseluruhan.
3) Motivasi Diri (Self-Motivation)
Motivasi diri merupakan aspek sentral dalam kecerdasan emosional yang mencakup kemampuan individu untuk mengatur diri sendiri, mengarahkan tujuan, dan bertahan dalam menghadapi tantangan. Mayer, Salovey, dan Caruso (2016) menggambarkan motivasi diri sebagai kemampuan untuk menggerakkan diri sendiri menuju tujuan-tujuan yang diinginkan, meskipun dihadapkan pada rintangan atau distraksi (Mayer et al., 2016). Hal ini mencakup kemampuan untuk mempertahankan fokus, menetapkan prioritas, dan memotivasi diri sendiri untuk mencapai prestasi yang diinginkan dalam berbagai aspek kehidupan (Goleman, 2011). Menurut Goleman (2011), individu yang memiliki tingkat motivasi diri yang tinggi cenderung lebih bertahan dan berkinerja baik dalam mencapai tujuan-tujuan pribadi dan profesional, karena mampu mengelola emosi dan menyeimbangkan antara pencapaian tujuan jangka pendek dan jangka panjang (Goleman, 2011).
Secara neurologis, motivasi diri terkait erat dengan aktivitas korteks prefrontal, yang mengatur fungsi eksekutif seperti perencanaan, pengambilan keputusan, dan pengendalian diri. Penelitian oleh Pessoa (2017) menunjukkan bahwa korteks prefrontal berperan penting dalam mengintegrasikan informasi dari berbagai sumber dan memotivasi individu untuk bertindak sesuai dengan tujuan-tujuan (Pessoa, 2017). Selain itu, motivasi diri juga melibatkan sistem reward dalam otak, seperti dopaminergik, yang memberikan dorongan motivasional dalam pencapaian tujuan dan pengalaman belajar (Kashdan et al., 2014). Dengan demikian, pengembangan motivasi diri tidak hanya bersifat psikologis tetapi juga didukung oleh dasar neurologis yang kompleks dan terintegrasi.
4) Pengenalan Emosional (Empathy)
Pengenalan emosional, atau yang lebih dikenal sebagai empati, merupakan aspek integral dari kecerdasan emosional yang memungkinkan individu untuk merasakan dan memahami perasaan dan perspektif orang lain. Menurut Brackett dan Rivers (2014), empati melibatkan kemampuan untuk meresponsndengan empati terhadap keadaan emosional orang lain, sehingga memperkuat hubungan interpersonal dan mempromosikan perilaku pro-sosial (Brackett & Rivers, 2014). Hal ini mencakup kemampuan untuk mengidentifikasi perasaan dan kebutuhan orang lain secara akurat, serta memberikan dukungan dan pengertian yang sesuai (Mayer et al., 2016). Goleman (2011) menekankan bahwa empati berperan penting dalam membentuk hubungan yang sehat dan produktif, baik dalam konteks personal maupun profesional, karena membuka jalan bagi komunikasi yang efektif dan pengambilan keputusan yang berbasis kebutuhan bersama (Goleman, 2011).
Secara neurologis, empati terkait dengan aktivitas otak yang melibatkan korteks cingulate anterior, amigdala, dan area otak lain yang terlibat dalam pemrosesan emosi dan sosial. Penelitian oleh Decety dan Jackson (2004) menunjukkan bahwa empati melibatkan mekanisme otak yang memungkinkan individu untuk meniru dan memahami pengalaman emosional orang lain, yang memberikan dasar neurologis untuk respons empatik (Decety & Jackson, 2004). Selain itu, pengalaman empati juga terkait dengan aktivasi sistem reward dalam otak, yang memberikan penghargaan dan dorongan positif saat individu merespons secara empatik terhadap orang lain (Zaki & Ochsner, 2012). Dengan demikian, empati tidak hanya bersifat interpersonal tetapi juga didukung oleh dasar neurologis yang kuat, menunjukkan kompleksitas hubungan antara fungsi otak dan kecerdasan emosional.
5) Keterampilan Sosial (Social Skills)
Keterampilan sosial merupakan komponen penting dalam kecerdasan emosional yang mencakup kemampuan individu untuk berinteraksi, berkomunikasi, dan bekerjasama dengan orang lain secara efektif. Menurut Goleman (2011), keterampilan sosial meliputi kemampuan untuk memahami dinamika sosial, menanggapi secara tepat terhadap situasi interpersonal, serta membangun dan memelihara hubungan yang sehat dan produktif (Goleman, 2011). Hal ini mencakup aspek-aspek seperti komunikasi verbal dan non-verbal, kepemimpinan, negosiasi, dan kerja tim, yang menjadi kunci untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi dan kolaboratif (Mayer et al., 2016). Menurut Brackett et al. (2012), keterampilan sosial juga mencakup kemampuan untuk mengatur emosi dalam interaksi sosial, sehingga memfasilitasi hubungan yang positif dan mendukung dalam berbagai konteks kehidupan (Brackett et al., 2012).
Secara neurologis, keterampilan sosial didukung oleh aktivitas otak yang terlibat dalam pemrosesan sosial dan emosional. Penelitian neurosains menunjukkan bahwa korteks prefrontal dan korteks temporal superior berperan penting dalam mengenali ekspresi wajah, intonasi suara, dan isyarat non-verbal lainnya yang mempengaruhi komunikasi dan interaksi sosial (Adolphs, 2003). Selain itu, aktivitas amigdala dalam menilai ancaman sosial dan aktivitas sistem reward dalam memberikan umpan balik positif atas interaksi sosial yang sukses merupakan komponen neurologis lain yang mendukung keterampilan sosial (Adolphs, 2003; Zaki & Ochsner, 2012). Dengan demikian, pengembangan keterampilan sosial tidak hanya melibatkan aspek kognitif dan perilaku tetapi juga memiliki dasar neurologis yang kompleks dan terintegrasi.
SEJARAH DAN PENERAPAN KECERDASAN EMOSIONAL
Kecerdasan Emosional (EQ) mengacu pada kemampuan seseorang untuk mengenali, memahami, mengelola, dan mengontrol emosi diri sendiri dan orang lain. Sejarah dan perkembangan konsep kecerdasan emosional dapat diuraikan sebagai berikut (Suryaningsih et al., 2024) :
A. Konsep Kecerdasan Emosional
Untuk memahami awal mula konsep kecerdasan emosional (KE), perlu dilihat dari perspektif para ahli yang memprakarsai dan mengembangkan teori ini. Konsep KE pertama kali secara sistematis diungkapkan oleh Peter Salovey dan John D. Mayer pada tahun 1990-an, mendefinisikan KE sebagai kemampuan untuk mengenali, memahami, mengelola, dan mengarahkan emosi, baik pada diri sendiri maupun pada orang lain. Salovey dan Mayer menekankan pentingnya KE dalam mengatur emosi untuk mencapai tujuan pribadi dan sosial secara efektif, memandang KE sebagai bagian integral dari kecerdasan yang tidak hanya kognitif, tetapi juga emosional.
Daniel Goleman berperan kunci dalam mengenalkan KE ke dalam budaya populer melalui bukunya yang terkenal, "Emotional Intelligence", yang diterbitkan pada tahun 1995. Goleman menyebutkan bahwa KE meliputi keterampilan membaca perasaan dan kebutuhan orang lain, mengelola emosi dalam diri sendiri, memotivasi diri sendiri, mengatur perasaan untuk mencapai tujuan, serta menjaga hubungan secara efektif. Kontribusi Goleman memperluas pemahaman umum tentang KE dan mendorong aplikasi teori ini dalam konteks pendidikan, bisnis, dan manajemen.
Sejak awal tahun 2000-an, konsep KE terus berkembang dengan penelitian yang lebih mendalam tentang hubungannya dengan keberhasilan individu di berbagai bidang kehidupan. Travis Bradberry dan Jean Greaves dalam bukunya "Emotional Intelligence 2.0" (2009) menyajikan penelitian terkini yang menunjukkan bahwa KE dapat dipelajari dan ditingkatkan melalui latihan yang terarah, menggambarkan KE sebagai kunci penting dalam mencapai kinerja optimal di tempat kerja dan dalam kehidupan pribadi. Kesimpulannya, perkembangan konsep KE dari Salovey dan Mayer hingga Goleman, serta aplikasi lebih lanjut oleh Bradberry dan Greaves, mencerminkan evolusi pemahaman kita tentang bagaimana kecerdasan emosional berperan dalam membentuk kehidupan dan hubungan manusia.
B. Pentingnya Kecerdasan Emosional
Kecerdasan Emosional (KE) memiliki peran yang krusial dalam kehidupan individu dan masyarakat modern. Menurut Daniel Goleman dalam bukunya yang terkenal, "Emotional Intelligence", KE membantu seseorang untuk "mengenali, memahami, dan mengelola emosi dalam diri sendiri dan orang lain" (Goleman, 1995). Pada era kontemporer, KE semakin diakui sebagai faktor penentu keberhasilan seseorang di berbagai bidang, termasuk dalam karir dan hubungan sosial. Seiring dengan peningkatan kesadaran akan pentingnya KE, banyak organisasi dan institusi pendidikan mulai mengintegrasikan pelatihan KE untuk meningkatkan kinerja dan keberhasilan individu.
Travis Bradberry dan Jean Greaves menjelaskan bahwa KE tidak hanya memengaruhi kinerja individu secara pribadi, tetapi juga berdampak signifikan dalam konteks organisasional, menyatakan bahwa individu dengan tingkat KE yang tinggi cenderung lebih mampu mengelola stres, berkomunikasi dengan efektif, dan membuat keputusan yang bijaksana (Bradberry & Greaves, 2009). Dalam dunia kerja yang kompetitif, keterampilan ini sangat dihargai karena mampu mempengaruhi iklim kerja yang harmonis dan produktif. Penelitian oleh Anabel Jensen dan Colette T. Ronning (2017) membahas bahwa KE berperan penting dalam pembentukan kepemimpinan yang efektif, menekankan bahwa seorang pemimpin yang mampu mengelola emosinya sendiri dan memahami emosi orang lain dapat memotivasi timnya dengan lebih baik serta memimpin dengan cara yang lebih kolaboratif dan empatis. Dengan demikian, KE bukan hanya tentang keberhasilan individu tetapi juga tentang kontribusi positif terhadap dinamika sosial dan profesional secara luas.
C. Penerapan dalam Kehidupan Sehari-hari
Penerapan kecerdasan emosional (KE) dalam kehidupan seharihari memiliki dampak yang signifikan terhadap kesejahteraan individu dan interaksi sosial. Menurut Brackett dan Rivers (2014), KE mencakup "keterampilan untuk mengenali, memahami, mengelola, dan mengekspresikan emosi dengan sehat" (Brackett & Rivers, 2014). Dalam konteks ini, individu yang memiliki tingkat KE yang tinggi cenderung lebih baik dalam mengatasi konflik, menjaga hubungan yang positif, dan mengelola stres dengan efektif dalam kehidupan seharihari. Daniel Goleman, dalam bukunya "Emotional Intelligence", menggambarkan bahwa KE dapat membantu individu untuk "mengelola emosi sendiri dan berhubungan dengan orang lain secaralebih efektif" (Goleman, 1995). Penerapan KE dalam situasi sehari-hari melibatkan kemampuan untuk mengenali emosi yang muncul dalam diri sendiri dan orang lain, serta mengatur tanggapan emosional secara adaptif. Hal ini dapat meningkatkan komunikasi interpersonal, kolaborasi dalam tim kerja, dan resolusi masalah secara lebih efisien.
Menurut Nurita, dikemukakan ciri-ciri individu yang memiliki kecerdasan emosi tinggi, yaitu (Mukhlisa et al., 2024) :
1) Memiliki kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan dapat bertahan dalam menghadapi frustasi.
2) Dapat mengendalikan dorongan-dorongan hati sehingga tidak melebih-lebihkan kesenangan
3) Mampu mengatur suasana hati dan dapat menjaganya agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir seseorang.
4) Mampu berempati terhadap orang lain
ASPEK-ASPEK KECERDASAN EMOSIONAL (EQ)
Aspek EQ (Emotional Quotient) merupakan tingkat keinginan/kemauan seseorang dalam mewujudkan harapan dan keinginan seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidupnya (Warastri, 2021). Daniel Goleman mengklasifikasikan kecerdasan emosional menjadi lima aspek penting yaitu (Mukhlisa et al., 2024) :
1. Mengenali Emosi Diri
Mengenali emosi diri adalah mengetahui apa yang dirasakan seseorang pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri. Kemampuan mengenali emosi diri juga merupakan kemampuan seseorang dalam mengenali perasaannya sendiri sewaktu perasaan atau emosi itu muncul. Ini sering dikatakan sebagai dasar dari kecerdasan emosional. Seseorang yang mampu mengenali emosinya sendiri adalah bila ia memiliki kepekaan yang tajam atas perasaan mereka yang sesungguhnya dan kemudian mengambil keputusan-keputusan secara mantap. Misalnya sikap yang diambil dalam menentukan berbagai pilihan, seperti memilih sekolah, sahabat, pekerjaan, sampai kepada pemilihan pasangan hidup.
2. Mengelola Emosi
Mengelola Emosi yaitu menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas. Kecakapan ini tergantung pula pada kesadaran diri. Mengelola emosi berhubungan dengan kemampuan untuk menghibur diri sendiri, melepaskan kecemasan, kemurungan atau ketersinggungan dan akibat-akibat yang timbul karena gagalnya keterampilan emosional dasar. Orang-orang yang buruk kemampuannya dalam keterampilan ini akan terus menerus bertarung melawan perasaan murung, sementara mereka yang pintar dapat bangkit kembali jauh lebih cepat dari kemerosotan dan kejatuhan dalam kehidupan.
3. Memotivasi Diri Sendiri
Memotivasi diri sendiri adalah kemampuan menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri. Motivasi menggerakkan manusia untuk meraih sasaran sedangkan emosi menjadi bahan bakar untuk memotivasi, dan motivasi pada gilirannya menggerakkan persepsi dan membentuk tindakan-tindakan.
4. Mengenali Emosi Orang Lain
Mengenali emosi orang lain atau empati adalah kemampuan untuk merasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling percaya dan menyelaraskan diri dengan orang banyak atau masyarakat. Orang yang memiliki empati lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial yang tersembunyi yang mengisyaratkan apaapa yang dibutuhkan atau dikehendaki orang lain.
5. Membina Hubungan
Membina hubungan yaitu kemampuan mengendalikan dan menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain, cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, memahami dan bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia. Singkatnya keterampilan sosial merupakan seni mempengaruhi orang lain (Goleman, 1996).
6. Kesadaran Emosional
Maksudnya adalah kita harus bisa menyadari dan mengetahui emosi sendiri dan orang lain, bagaimana mereka mempengaruhi dan emosi apa yang muncul ketika berada di dalam suatu keadaan tertentu. Dengan menyadari kondisi emosional, dapat menilai diri lebih baik dan mengambil keputusan yang tepat dalam kondisi tertentu terlepas dari banyaknya emosi yang menghujani. Dengan menyadari dan mengetahui emosi orang lain, atau berempati, dapat mengira-ngira tindakan apa yang dapat diambil dalam situasi tertentu. Terdengar sulit, tetapi jika terus berusaha menajamkan hal ini, maka pasti bisa memiliki kesadaran emosi yang baik.
7. Manajemen Diri
Maksudnya adalah seseorang mampu untuk mengatur emosi yang sedang dirasakan, menghindari pemikiran impulsif, dan memanfaatkan emosi yang dirasakan untuk mengambil keputusan yang positif. Jangan biarkan emosi menguasai diri, namun cobalah untuk tenang, ketahui bahwa emosi yang didapatkan adalah respon yang manusiawi dari peristiwa yang terjadi, dan mulailah memproses peristiwa itu dengan kepala dingin.
8. Manajemen Hubungan
Ketika sudah lebih mahir dalam mengatur emosi sendiri, bukan hal yang mustahil untuk bisa mengatur hubungan dengan orang-orang di sekitar dengan lebih baik. Pahami diri sendiri dan berempati pada orang lain. Hal ini akan memberikan informasi-informasi untuk membantu Emosi juga kadang-kadang dibangkitkan oleh motivasi, sehingga antara emosi dan motivasi terjadi hubungan interaktif (Tubagus, 2021).
Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional (EQ) Kecerdasan emosional dipengaruhi beberapa faktor, baik faktor yang bersifat pribadi, sosial ataupun gabungan beberapa faktor. Terdapat banyak faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosiona. Menurut Goleman terdapat dua faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu (Mukhlisa et al., 2024) :
1) Faktor internal
Faktor internal merupakan faktor yang timbul dari dalam diri individu yang dipengaruhi oleh keadaan otak emosional seseorang
2) Faktor Eksternal
Faktor eksternal, merupakan faktor yang datang dari luar individu dan mempengaruhi atau mengubah sikap pengaruh luar yang bersifat individu dapat secara perorangan, secara kelompok, antara individu dipengaruhi kelompok atau sebaliknya, juga dapat bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara misalnya media massa baik cetak maupun elektronik serta informasi yang sudah canggih (Lubis, 2020).
Menurut Agustian, faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu (Mukhlisa et al., 2024) :
1. Faktor Psikologis
Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor internal ini akan membantu individu dalam mengelola, mengontrol, mengendalikan dan mengkoordinasikan keadaan emosi agar termanifestasi dalam perilaku secara efektif.
2. Faktor Pelatihan Emosi
Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan kebiasaan, dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan pengalaman yang berujung pada pembentukan nilai. Reaksi emosional apabila diulang-ulang pun akan berkembang menjadi suatu kebiasaan. Pengendalian diri tidak muncul begitu saja tanpa dilatih. Melalui dorongan, keinginan, maupun reaksi emosional yang negatif dilatih agar tidak dilampiaskan begitu saja sehingga mampu mengendalikan emosi tersebut.
3. Faktor pendidikan
Pendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu untuk mengembangkan kecerdasan emosi Individu mulai dikenalkan dengan berbagai bentuk emosi dan bagaimana mengelolanya melalui pendidikan. Pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat (Darmadi, 2017).
Sedangkan menurut Hurlock ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan Emosional adalah sebagai berikut (Mukhlisa et al., 2024) :
1. Keadaan Fisik, yaitu kesehatan fisik seseorang sangat dipengaruhi emosionalnya.
2. Kondisi psikologi atau kejiwaan, kondisi psikologi ini sangat berkaitan dengan tinggi rendahnya intelek seseorang. Orang yang intelektualnya rendah mempunyai pengendalian emosi yang rendah pula.
3. Kondisi Lingkungan, terutama kondisi lingkungan keluarga, karena lingkungan keluarga sangat besar pengaruhnya pada perkembangan emosi seseorang (Suciati, 2016).
Faktor lain yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosional yaitu (Mukhlisa et al., 2024) :
1. Faktor keluarga
Keluarga merupakan faktor utama yang mempengaruhi kecerdasan emosi, karena melalui keluargalah individu pertama kali berinteraksi dan belajar. Maka berpijak dari keluarga itulah individu mulai mengembangkan kecerdasan emosi.
2. Faktor budaya
Budaya mempengaruhi kecerdasan emosional seseorang melalui pola pikir yang dibentuk di dalam budaya atau tradisi turun temurun yang dilakukan oleh orang-orang di lingkungan setempat.
3. Faktor Lingkungan
Lingkungan memberi peran terhadap kecerdasan emosional melalui kebiasaan di lingkungan setempat yang melekat pada dirinya, seperti interaksi antar warga, tetangga, peran atau perilaku pemimpin / RT, RW (Wicaksana, 2021)
PENUTUP
Sering kali mahir dalam merawat aspek-aspek di luar diri: pekerjaan, penampilan, interaksi dengan orang lain. Tetapi, bagaimana dengan perasaan sendiri? Ketika menekan emosi yang terpendam atau berusaha sekuat tenaga untuk nampak tangguh, hati menjadi lelah dan tidak terjaga. Emosi yang cerdas memungkinkan untuk mengelola perasaan dengan lebih baik. Dengan mengatur emosi dengan baik, dapat memberikan kesempatan untuk memaafkan diri, menerima kekalahan, dan memperbaharui semangat hidup. Hati yang dijaga dengan baik menjadi dasar bagi hubungan yang lebih baik dengan orang lain dan kehidupan yang lebih damai.
Di dalam setiap individu terdapat sebuah “rumah”, sebuah ruang batin di mana merasa nyaman, diterima, dan utuh dengan diri sendiri. Sayangnya, seringkali tidak menyadari bahwa menjauh dari rumah ini. Fokus pada pencarian pengakuan eksternal, mengandalkan prestasi sebagai sumber kebahagiaan, sampai melupakan ketenangan yang hanya dapat ditemukan dalam diri sendiri. Kecerdasan emosional mengantarkan pulang. Dengan memahami emosi dan keterampilan mengelolanya, kita mulai berdamai dengan masa lalu, menerima diri sendiri tanpa syarat, dan menciptakan hubungan yang lebih damai dengan lingkungan. Memahami bahwa kebahagiaan yang sesungguhnya tidak berasal dari luar, melainkan berkembang dari dalam jiwa yang dirawat dengan baik. Perjalanan ini tidaklah berlangsung secara langsung. Diperlukan waktu, keberanian, dan kejujuran untuk memahami diri sendiri. Setiap langkah kecil dalam memahami dan menjaga hati adalah langkah menuju kesadaran diri yang sesungguhnya. Dan saat kita telah tiba di rumah jiwa kita sendiri, hidup menjadi lebih ringan, hubungan lebih berharga, dan cinta kepada diri sendiri serta orang lain mengalir dengan lebih alami.
DAFTAR PUSTAKA :
Brackett, M. A. (2020). Permission to Feel: Unlocking the Power of Emotions to Help Our Kids, Ourselves, and Our Society Thrive. Celadon Books.
KBBI .(2023). Kecerdasan Emosional. Available at: https://kbbi.web.id/cerdas (Diakses : 01 Agustus 2025)
Mukhlisa, Putri, et al. (2024). Kecerdasan Emosional/Emotional Intelligence (EQ). Jurnal Pendidikan, Bahasa, Sastra, Seni, Budaya, dan Sosial Humaniora, Vol. 2, No. 1, Februari, hlm. 115–127. e-ISSN: 2964-982X; p-ISSN: 2962-1232. DOI: https://doi.org/10.59024/atmosfer.v2i1.656.
Suryaningsih, Chatarina, et al. (2024). Kecerdasan Emosional di Era Digital. Jakarta: PT Media Penerbit Indonesia, Cetakan I. ISBN 978-623-8702-21-3.
Komentar
Posting Komentar